Oleh : Yarifai Mappeaty*
November 2016 adalah bulan paling sibuk bagi Jokowi dari 24 bulan masa pemerintahannya. Sayangnya, Jokowi sibuk bukan mengurusi kesejahteraan rakyatnya. Tetapi Ia sibuk meneguhkan kembali pengaruh dan kekuasaannya yang tergerus oleh people power reaksi damai 411. Padahal, semua itu tidak perlu terjadi kalau saja Jokowi selaku presiden, mampu menempatkan diri sebagai “bapak” bagi seluruh rakyatnya. Situasinya tidak akan serumit ini, sekiranya Ia sebagai seorang bapak, berkenan menemui rakyat yang memohonnya untuk bertemu. Bukan justeru pergi dan meninggalkan kekecewaan yang dalam bagi jutaan rakyatnya.
Presiden Jokowi harusnya paham bahwa ormas islam itu bukan hanya NU dan Muhammadiyah, tetapi ummat islam telah terpolarisasi ke dalam puluhan bahkan ratusan ormas islam. Reaksi damai 411 mestinya memberi kesadaran baru baginya bahwa ummat islam tak lagi sepenuhnya direprensentasikan oleh kedua ormas tersebut.
Tetapi, reaksi damai 411 tetap tak mengubah perspektif Jokowi. Sebelum 411, Ia mengundang pimpinan tertinggi NU dan Muhammadiyah ke istana. Tujuannya, tentu saja, bagaimana mencegah atau menggagalkan rencana reaksi damai 411. Kalau pun tidak bisa digagalkan, setidaknya, reaksi damai itu tak memberi efek apa-apa yang dapat menggerus pengaruh dan kekuasaannya. Namun apa yang terjadi? Ummat Islam ternyata tetap saja tumpah ruah tak terbendung. Hal ini membuat Presiden Jokowi “kelabakan”‘dan memilih meninggalkan istana. Diakui atau tidak, pengaruh Presiden Jokowi seolah tenggelam dalam samudera putih-putih dan dalam gemuruh takbir jutaan manusia yang menuntut keadilan ditegakkan.
Panikkah Jokowi? Cara Ia merespon efek resultan gaya reaksi damai 411 menunjukkan kalau Jokowi memang panik. Merasa pengaruhnya tergerus, Jokowi merasa perlu kembali meneguhkan pengaruh dan kekuasaannya. Ia pun lantas menurunkan sedikit kadarnya sebagai “yang paling terhormat” di negeri ini dengan melakukan safari politik. Jokowi pun menyambangi kantor PB NU dan PP Muhammadiyah, berharap dukungan dan empati. Dengan tujuan yang sama, namun dengan cara yang berbeda, ormas islam “kelas dua” pun dipanggil ke istana. Sementara ormas-ormas penggerak reaksi damai 411 dibiarkan tak digubris.
Padahal, kalaupun Jokowi merasa perlu bersilaturrahim dengan ormas-ormas islam, maka ormas-ormas islam yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pendukung Fatwa MUI (GNPF – MUI) itulah yang harus menempati peringkat atas dalam daftar ormas-ormas islam yang perlu diajak bersilaturrahim. Mereka inilah yang perlu diajak berdialog, paling tidak, mendengarkan secara langsung aspirasi mereka, meskipun momentumnya sudah tak tepat lagi. Bukan NU, Muhammadiyah, dan atau yang lainnya menjadi prioritas.
Tetapi, safari politik yang dilakukan Jokowi yang tidak melibatkan ormas islam pendukung fatwa MUI, justeru dinilai keliru oleh banyak kalangan. Kendati selalu mengusung issu bagaimana merawat kebhinnekaan dan keutuhan NKRI, tetapi tanpa sadar, Jokowi malah melakukan pembelahan terhadap ormas-ormas islam. Sebagian ditarik ke sisinya, dan sebagian lagi yang lainnya dibiarkan pada sisi selainnya. Ini sangat berbahaya karena pada gilirannya, membuat para ulama dan tokoh-tokoh islam pun menjadi ikut terbelah karenanya. Apalagi, para ulama memang sudah terlebih dahulu terbelah ke dalam pro dan kontra pada kasus dugaan Ahok menista Islam.
Pada saat yang sama, Jokowi juga melakukan manuver ke berbagai satuan tempur penting yang dimiliki negara. Mulai dari Mabes TNI AD, Markas Kopassus di Cijantung, Mako Brimob di Kelapa Dua, serta Markas Marinir di Cilandak. Selain berpidato, Jokowi pun pamer kekuatan melalui gelar pasukan. Kalau itu dimaksudkan untuk memastikan dukungan dan loyalitas satuan-satuan tempur tersebut kepadanya, untuk apa? Bukankah secara konstitusi, Presiden adalah Panglima Tertinggi yang membawahi semua itu?
Publik juga menjadi bingung melihat pola komunikasi Jokowi yang berbeda. Kepada ormas-ormas islam yang Ia temui, komunikasi Jokowi begitu persuasif dan “mengalah”. Bahkan, berkali-kali menyatakan tak mengintervensi proses hukum Ahok. Namun, ketika berpidato di hadapan Kopassus, Marinir, dan Brimob, nuansanya menjadi lain. Jokowi seolah “mengancam”. Di markas Kopassus, misalnya, Jokowi secara tegas menyatakan, “Ini adalah pasukan cadangan yang bisa saya gerakkan sebagai panglima tertinggi lewat Pangab, lewat Panglima TNI untuk keperluan khusus”.
Untuk menghadapi ormas islam pendukung GNPF MUI, tampaknya, Jokowi menjalankan dua cara yang berbeda sekaligus. Yang pertama, menarik sebanyak mungkin ormas islam ke pihaknya, terutama NU dan Muhammadiyah (strategi belah bambu). Yang kedua, show of force. Melalui cara ini, Jokowi mengirimkan sinyal ancaman dengan penggunaan kekuatan militer. Sama saja, kedua cara itu bertujuan untuk melemahkan semangat perjuangan massa pendukung fatwa MUI.
Mengapa Jokowi serepot itu? Padahal, Ahok yang bermasalah, Jokowi yang serba salah. Jangan-jangan sinyalemen yang berkembang selama ini benar bahwa Jokowi memang melindungi Ahok. Sehingga publik pun dapat menerka-nerka bahwa proses hukum Ahok diskenariokan hanya sampai di kepolisian, tak sampai di pengadilan. Kalau ini yang terjadi, maka diperkirakan menimbulkan reaksi yang lebih hebat dari pada reaksi damai 411.
Untuk mengantisipasi reaksi terhadap kasus Ahok tidak berlanjut ke pengadilan, membuat Jokowi berusaha sebisa mungkin mendapatakan dukungan NU dan Muhammadiyah serta dari ormas islam lainnya. Akan tetapi, Jokowi ternyata gagal mendapatkan dukungan secara penuh sebagaimana yang diharapkan. Sehingga tidak ada pilihan bagi Jokowi selain mempersiapkan kekuatan militer. “Negara tidak boleh kalah oleh organisasi manapun!”. Kurang lebih demikian penegasan Jokowi dalam road show of force-nya.
Penggunaan senjata untuk membungkam massa aksi di negeri ini, bukan hal baru. Bahkan telah menjadi bagian dari sejarah hitam-kelam perjalanan republik ini, terutama, selama era orde baru. Dengan dalih, demi keselamatan NKRI, penguasa orde baru tidak segan-segan membungkam rakyat dengan kekuatan senjata. Padahal semua itu dilakukan, semata hanya demi mempertahankan kekuasaan belaka.
Namun, Soeharto, penguasa orde baru selama 32 tahun itu, diakhir masa kekuasaannya, masih saja menunjukkan sikap sebagai seorang negarawan. Ketika kendali kekuatan militer sepenuhnya, masih di tangannya, Ia lebih memilih menyerahkan kekuasaannya, dari pada bertahan tapi Ia harus membantai rakyatnya sendiri. Ini salah satu pelajaran yang sangat berharga yang ditinggalkan Soeharto bagi generasi selanjutnya yang layak untuk dikenang untuk selama-lamanya.
Bagaimana dengan Jokowi? Selaku penguasa, akankah Ia memilih menjadi bagian dari sejarah hitam-kelam sejarah perjalanan republik ini? Ataukah Ia lebih memilih menjadi seorang negarawan? Biarlah waktu yang menjawabnya.
Yarifai Mappeaty.Pengurus masjid, tinggal di Makassar