Opini

Badai Mengamuk Sebelum “Makan Asam” di Depan Balai Kota

Oleh : Sangaji Furqan Jurdi

OPINI, EDUNEWS.ID – Sekarang kita mengurai hasutan-hasutan dari Balai Kota kepada rakyat Jakarta untuk bergerak serentak melawan keangkuhan sebuah rezim. Hasutan itu dimulai dari penggusuran, reklamasi pantai dan kasus-kasus korupsi lainnya. Setelah rakyat digusur rumahnya, ditimbun pantainya dan dirampok uangnya, rakyat difitnah dengan fitnah yang kejam. Walaupun rakyat dihina sedemikian rupa, kata Pak Amien, “rakyat masih bersabar”.

Dari Balai Kota semua peraturan dan keputusan diambil. Keputusan itu sebenarnya harus berorientasi pada rakyat, bukan pada pengusaha-pengusaha asing, lebih khusus lagi pengusaha Tiongkok. Ini bukan fitnah, ini fakta yang terjadi di Jakarta. Kalau orang yang hidup di Jakarta dan menjadi pengusaha pasti akan mengeluh dan melemparkan sumpah serapah kepada Ahok karena sikapnya yang mementingkan pengusaha Asing daripada pengusaha lokal Jakarta. Bahkan ada satu pengusaha, yang tidak akan saya sebutkan namanya di sini, ketika dia menonton berita dan ada berita tentang Ahok maka dia langsung melempar televisinya dengan bantal disertai cacian dan makian yang menjadi-jadi.

Kalau kita baca sejarah berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905 oleh Haji Samanhudi dan kawan-kawan, maka yang kita lihat adalah strategi untuk menangkis pedagang Cina yang semakin kuat dan menyingkirkan pedagang pribumi. Dapatlah dilihat sejak zaman jauh sebelum kemerdekaan Cina sudah ingin menguasai Republik ini dengan kekuatan ekonomi, karena mereka banyak mendapatkan legitimasi dari penguasa. Di zamanya Ahok, Cina semakin menjadi-jadi, bahkan rahasia umum tentang “Sembilan naga Cina” dalam mengendalikan kekuasaan, lebih khusus lagi Jakarta.

Pada zaman Pak Harto, Cina semakin berkembang pesat. Dan kekuasaan tetap memihak kepada mereka, maka apabila terjadi kemacetan di Jakarta, yang dituduh tukang becak sebagai penyebabnya, tapi mobil-mobil Cina tidak disalahkan. Bahkan sampai sekarangpun masih begitu.

Saya bukan anti Cina, atau benci Cina. Karena biar bagaimanapun Cina dengan Indonesia memiliki keakraban dari dulu, bahkan banyak orang Cina datang ke Indonesia dengan menyebarkan agama Islam. Laksamana Cheng Ho adalah laksamana muslim dari Cina yang mampu mengukir sejarah sebagai pemilik Armada terbesar dalam sejarah ketika Zhu Di, raja kedua dari Dinasti Ming berkuasa, dan dia banyak memberikan bantuan kepada kerajaan Samudera Pasai ketika berhadapan dengan Majapahit.

Orang Islam tidak membenci Kristen, karena Islam mengajarkan kasih sayang kepada umatnya, berlaku bijak kepada ahli kitab dan tidak berbuat zalim kepada agama lain, karena perbedaan itu dalam pandangan Islam adalah hukum Allah yang berlaku dalam kehidupan manusia.  Meskipun mereka menjadi pemimpin dalam mayoritas Islam,  maka umat Islam harus menerima, yang terpenting adalah kesejahteraan untuk rakyat. Semua itu tidak masalah bagi umat Islam, walaupun ada perintah agama untuk tidak memilih pemimpin kafir, karena umat Islam siap untuk berkompetisi, namun lain hal kalau kitab sucinya di hina.

Selama menjabat Gubernur, Ahok telah menjadikan Jakarta ibarat api dalam sekam. Rakyat yang tinggal dibantaran kali digusur dengan paksa kemudian mereka disusuruh untuk membayar Rumah Susun yang mahal dan jauh dari tempat kerjanya. Setelah digusur rakyat di caci lagi dengan mulutnya yang besar dan suaranya yang menantang. Inilah tanda dari keangkuhan sebuah rezim yang suatu ketika akan menimbulkan pergolakan badai besar. Ketika ada orang yang pergi mengadu ke Balaikota, mereka di ajak berantem oleh sang Gubernurnya. Ini namanya kepongahan sebuah rezim.

Di Balai Kota orang tua yang tidak bisa berjalan duduk dikursi roda, dicaci oleh sang Gubernur karena mengadu masalah tanahnya. Namun tidak dipublikasikan di media, supaya citra sang Basuki tidak cacat dimata masyarakat. Yang dimunculkan hanyalah kebaikannya saja.

Dan yang terakhir adalah agama mayoritas warga Jakarta dan warga negara Indonesia di jelekkan dan ulamanya di hina karena telah menafsirkan Al-Quran al-Maidah ayat 51. Nah yang terakhir ini adalah puncak dari kesalahan Ahok. Sehingga kekecewaan dan rasa tidak senang yang lama terpendam akibat kepongahan Basuki terakumulasi semua dengan kasus pelecehan Al-Quran ini. Sehingga rakyat segera bergerak agar jangan sampai hal itu terjadi untuk kedua-kalinya.

Tapi mereka difitnah lagi sebagai pemecah-belah, pembuat onar dan mereka yang membela agamanya itu dikatakan sebagai “preman” agama. Mereka dicerca lagi dengan berbagai cercaan oleh para pendukung Ahok. Tapi biar bagaimanapun propaganda bermain maka kebenaran tetap akan menang.

Keberuntungan kita adalah ketika ia mencaci Al-Maidah. Kalau tidak karena persoalan agama mungkin kita umat Islam sudah digusur juga di Jakarta. Karena Al-Maidah ayat 51 kita sadar bahwa tanah di Jakarta telah dikuasai oleh asing, proyek-proyek dalam negeri sudah dikendalikan oleh asing, persoalan korupsi yang tadinya bisa diselesaikan dengan pengembalian uang negara dan permintaan maaf serta pencitraan media muncul kembali bersama dengan badai besar penghinaan Al-Quran.

Dalam kegentingan itu Ahok mencari pembenaran bahwa dia “pernah belajar” di sekolah Muhammadiyah, mulai dari SD-SMA, tapi faktanya berbeda. Dia tidak pernah sekolah disekolah Islam. Disini kebohongannya ditangkap basah. Lalu dia mencari pembenaran lain, bahwa dia mendirikan banyak masjid di Jakarta terutama sekali masjid Balai Kota. Tapi itu tidak menarik, apapun fasilitas yang dibangun itu merupakan tugas pemerintah sebagai pelaksana anggaran. Dalam kondisi yang demikian maka ia kehilangan akal dan akhirnya memperlihatkan kepanikan sebuah rezim.

Hampir Saja ‘Makan Asam’ di Balai Kota

Seandainya kita diamkan kasus demi kasus itu maka tidak menutup kemungkinan yang kita dapat hanyalah asam dan kita memakannya didepan Balai Kota dengan kejengkelan. Mungkin rakyat kecil akan sangat susah masuk ke monas karena akan dijadikan sebagai tempat rekreasi elit disana. Para penjual kecil-kecil di dala monas dikejar habis-habisan oleh Pol-PP yang yang dikirim dari Balaikota.

Balai Kota semenjak Ahok berkuasa menghembuskan angin berhawa panas yang tidak nyaman untuk dihirup. Rakyat yang sebenarnya harus mendapatkan pelayanan dari pemerintah, malah mendapatkan kesengsaraan yang luar bisa. Di caci-maki, difitnah, diteror dan berbagai macam tindakan aparat penegak hokum yang bersekongkol dengan Balai Kota. Dan Balai Kota yang tadinya diharapkan mampu memberikan manfaat malah menyungguhkan hidangan asam kepada rakyat.

Sakit hati rakyat kepada mereka menjadi klimaks dari keserakahan, keongahan dan keangkuhan rezim Basuki. Kalau saja kita tetap memaafkannya dan mendiamkan masalah ini, maka yang terjadi adalah kehancuran ibukota. Bisa jadi semua warga “pribumi” dikorbankan demi pengusaha taipan dijakarta.

Gerakan 4 November 2016 ini sebagai badai akan menghentikan kesewenang-wenangan sebuah rezim dan mengakhiri keangkuhan Ahok. Maka kita harus bersyukur bahwa badai yang akan berhembus di Jakarta adalah untuk masa depan Indonesia yang lebih mandiri, lebih adil dan lebih sejahtera menuju Indonesia yang berkemajuan.

Marilah kita sama-sama mendukung gerakan tanggal 4 November ini dengan saling berpegangan tanganyang erat, namun tetap dalam suasana damai. Mari kita bergerak jangan sampai kita makan asam di Balaikota.

 

Sangaji Furqon JurdiAktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com