Oleh : Rizki Rahayu Fitri*
OPINI, EDUNEWS.ID – Indonesia bukan hanya negara kepulauan terbesar di dunia, tetapi juga rumah bagi lebih dari 280 juta jiwa. Setiap hari, lahir ribuan anak baru ke dunia yang penuh tantangan ini. Namun pertanyaannya, apakah semua kelahiran itu diiringi kesiapan orang tua dan negara untuk menjamin kehidupan layak bagi si anak? Di tengah tekanan angka kemiskinan, stunting, eksploitasi anak, dan daya tampung infrastruktur sosial yang kewalahan, Gubernur Jawa Barat mengambil langkah berani dan tak populer: mempromosikan vasektomi sebagai bagian dari strategi pengendalian populasi. Inisiatif ini memantik perdebatan sengit. Agama, budaya, dan narasi lama “banyak anak banyak rezeki” kembali dipanggil untuk menolak akal sehat. Namun di balik kontroversi itu, ada satu kenyataan pahit: Indonesia kelebihan jumlah penduduk, tetapi kekurangan kualitas hidup.
Narasi “banyak anak banyak rezeki” masih mendarah daging di banyak komunitas, terutama di lapisan masyarakat miskin. Ironisnya, semakin banyak anak yang lahir dari keluarga miskin, semakin besar beban negara untuk menghidupi mereka. Anak-anak ini yang tidak pernah meminta untuk dilahirkan harus menanggung kutukan sosial sejak lahir: kurang gizi, pendidikan seadanya, dan pekerjaan kasar sejak dini. Bila anak-anak itu bisa memilih, mungkinkah mereka bersedia lahir dari rahim ibu yang lapar dan sel telur ayah yang miskin, lalu tumbuh dalam dunia yang menganggap mereka sebagai beban? Beda halnya kalau anda kaya tujuh turunan, dan nutrisi anak anda dijamin hingga tumbuh dewasa.
Negara pun tak tinggal diam. Bantuan sosial, sekolah gratis, layanan BPJS, subsidi pangan semua digelontorkan. Tapi sampai kapan negara bisa memelihara anak-anak dari keluarga yang tak pernah belajar menahan diri? Ini bukan lagi soal moralitas individu, tapi soal keberlanjutan bangsa. Kita tak sedang menggugat kelahiran, tetapi menggugat ketidakbertanggungjawaban.
Perempuan Terus Tersakiti
Sejak era Orde Baru, program Keluarga Berencana (KB) difokuskan pada tubuh perempuan. Dari pil KB, suntik, implan, hingga steril permanen. Tubuh perempuan dijadikan medan perang demografis, sementara laki-laki tinggal merokok sambil berkata, “Anak itu rezeki.” Padahal, dari segi medis, risiko kontrasepsi hormonal sangat besar. Pil KB dan suntik hormon dalam jangka panjang telah terbukti memicu gangguan siklus menstruasi, menurunnya libido, bahkan memperbesar risiko kanker payudara dan serviks. Data dari WHO dan jurnal medis internasional menunjukkan peningkatan kasus kanker pada perempuan usia produktif yang menggunakan KB hormonal secara terus-menerus. Sudah banyak istri yang kehilangan rahim, kehilangan nyawa, bahkan kehilangan martabat karena tubuhnya menjadi objek eksperimentasi alat kontrasepsi. Saatnya laki-laki berhenti bersembunyi di balik dalih agama dan budaya.
Vasektomi: Solusi Aman, Bertanggung Jawab, dan Setara
Vasektomi adalah prosedur bedah kecil yang memutus saluran sperma pria. Prosedur ini tidak memengaruhi kemampuan seksual, tidak mengubah hormon, dan bahkan dapat dibalik dalam beberapa kasus. Dibandingkan dengan tubektomi perempuan yang memerlukan operasi besar, vasektomi jauh lebih sederhana dan aman. Namun karena alasan budaya dan kejantanan semu, vasektomi sering dianggap tabu. Dalam masyarakat patriarkis, kontrol atas reproduksi dianggap urusan perempuan. Pria hanya mau “menanam benih,” tetapi tak mau memikirkan siapa yang harus merawatnya.
Inilah mengapa kebijakan Gubernur Jawa Barat patut diapresiasi. Ia berani membuka ruang diskusi tentang tanggung jawab pria dalam keluarga. Ia menggeser narasi pengendalian kelahiran dari beban perempuan ke partisipasi laki-laki sesuatu yang jarang dilakukan pejabat publik, karena takut tak populer. Agama sering dijadikan tameng untuk menolak perubahan. Dalam hal vasektomi, sebagian pihak menyebutnya haram dan melawan sunnah Nabi. Tapi mari kita baca kembali sejarah fiqh. Dalam literatur klasik, Nabi Muhammad SAW tak pernah melarang praktik ‘azl (ejakulasi di luar vagina) yang sejatinya adalah bentuk pengaturan kelahiran pada masa itu. Lebih jauh, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam beberapa fatwanya tidak secara mutlak mengharamkan KB, apalagi jika dilakukan dengan alasan medis, ekonomi, atau sosial. Islam menekankan maslahat, bukan jumlah anak semata. Rasulullah tidak menyuruh umatnya melahirkan sebanyak mungkin, tapi mendidik sebaik mungkin. Jadi, apakah vasektomi bertentangan dengan Islam? Tidak, jika dilakukan dengan niat menjaga kesejahteraan keluarga dan kualitas generasi.
Pelajaran dari Orde Baru: Dulu Pil KB, Sekarang Lebih Cerdas
Di era Orde Baru, kampanye KB besar-besaran digaungkan dengan slogan “Dua Anak Lebih Baik.” Pemerintah saat itu sukses menekan laju pertumbuhan penduduk, tapi pendekatannya masih patriarkis dan tidak adil gender. Lagi-lagi, yang disasar adalah tubuh perempuan. Kini, ketika ilmu pengetahuan sudah berkembang dan data kesehatan makin jelas, mengapa kita tidak mengadopsi pendekatan yang lebih setara? Kenapa vasektomi masih dianggap mengancam kejantanan? Vasektomi bukan bentuk pengebirian. Vasektomi adalah perwujudan tanggung jawab. Pria yang menjalani vasektomi bukan pria lemah justru pria yang paling kuat, karena berani menjaga istrinya dari risiko medis, menjaga anaknya dari masa depan yang suram, dan menjaga negaranya dari ledakan demografis.
Langkah Gubernur Jawa Barat mungkin tidak akan memenangkan popularitas, tapi bisa jadi menyelamatkan generasi. Ia memilih menjadi pemimpin visioner, bukan sekadar juru kampanye yang takut kehilangan suara. Vasektomi bukan solusi tunggal, tapi simbol pergeseran paradigma. Dari membebani perempuan menjadi berbagi tanggung jawab. Dari menyalahkan anak yang lahir menjadi menyadari bahwa orang tua harus siap secara finansial dan emosional sebelum menghadirkan kehidupan baru.
Kalau dulu kita digembleng dengan kampanye “Dua Anak Lebih Baik,” maka sekarang kita butuh narasi baru: “Anak adalah berkah, tapi tanggung jawab adalah syarat utama sebelum menjemput berkah itu.” Karena bangsa yang hebat bukan hanya dibangun oleh jumlah penduduk, tapi oleh kualitas manusia yang dilahirkan oleh keluarga yang siap, sehat, dan sadar diri. Dan kalau tak ada yang mau bilang ini di depan publik, maka biarlah vasektomi bicara dengan tindakannya.
*Rizki Rahayu Fitri, Mahasiswa Program Doktor Hukum Undip Semarang
