Opini

Menatap Pilkada Garut: Refleksi Elektoral dan Catatan Kritis Pembangunan Politik

Muhammad Iqbal/penulis

*Oleh Muhammad Iqbal

OPINI, EDUNEWS.ID – Menjelang pemilihan kepala daerah, hampir disepanjang jalan dan diseluruh penjuru kota Garut dipenuhi baliho para bakal calon. Semuanya mulai menunjukkan eksistensinya dengan memuat jargon-jargon andalan dan memamerkan segudang pengalaman kepemimpinannya.

Partai politik pun mulai sibuk bergeriliya, bersilaturahmi membangun komunikasi politik antar partai untuk mencari kawan koalisi sebelum berperang memperebutkan kursi kekuasaan. Wajar apabila pemilu kita sebut sebagai pesta demokrasi, karena semua orang saling beradu untuk memenangkan calon pemimpinnya masing-masing.

Namun dibalik semua itu, banyak persoalan yang harus kita refleksikan bersama sebagai masyarakat kabupaten Garut, sejauh mana Pilkada yang telah dilaksanakan selama ini mampu menghasilkan kepemimpinan yang membawa pada jalan kemaslahatan.

Masyarakat Garut harus mulai kritis dalam menatap pilkada. Segudang persoalan yang tak pernah terurai dengan baik selama ini harus mulai kita lihat secara kritis, karena bisa jadi percaturan yang dipertontonkan setiap lima tahun sekali ini hanya sebuah rekayasa politik yang tak memiliki pijakan ideologis.

Pilkada belum mampu memberikan dampak secara sistemik bagi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat Garut. Jika kita telisik secara mendalam, Garut tak pernah lepas dari rundungan beragam persoalan, bahkan di umurnya yang ke-211 kemiskinan masih menjadi PR besar, menempati lima daerah dengan penduduk miskin terbanyak di Jawa Barat.

Kemiskinan memang menjadi persoalan kunci yang harus terus diurai dan diperjuangkan secara serius. Namun dibalik semua itu, ada persoalan mendasar yang harus kita soroti bersama dalam tata kelola kenegaraan kita di kabupaten Garut, yaitu kegagalan dalam proses pembangunan politik.

Secara konseptual pembangunan politik adalah perubahan yang disusun secara sistematik dari satu kondisi ke kondisi lainnya yang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat. Pembangunan politik ini menjadi prasyarat bagi pembangunan ekonomi dan perubahan aspek pembangunan lainnya seperti sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya.

Dalam konteks pembangunan politik, proses demokratisasi yang berjalan di Garut hanya berada dalam proses pilkada semata. Namun infrastrukur politik masyarakat tidak pernah diberdayakan, sehingga sulit untuk bisa membangun masyarakat politik yang mapan karena kuncinya ada dalam pemberdayaan masyarakat dan kualitas pendidikan yang ada.

Sektor tersebut seolah bukan menjadi prioritas utama pemerintah kabupaten Garut, kita bisa menyaksikan dan merasakan bersama bagaimana carut-marutnya pendidikan yang ada, banyak sekolah yang terbengkalai karena kekurangan siswa dan guru, angka harapan sekolah yang rendah, hingga kualitas pendidikan patut untuk kita renungkan bersama. Maka jangan heran apabila IPM Garut menempati urutan ke 25 dari 27 kabupaten-kota yang ada di Jawa Barat.

Pendidikan adalah sektor vital yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan politik. Tingkat keterdidikan akan membuat masyarakat menjadi lebih sadar politik, sadar hukum, dan sadar lingkungan yang akan termanifestasikan dalam perubahan berbagai aspek kehidupan. Logika demokrasi tidak mengajarkan kita untuk melakukan pertapaan mengharap hadirnya sosok ratu adil.

Tujuan politik yang ingin dicapai harus diupayakan dengan membangun kesadaran politik masyarakat untuk mendorong mobilisasi politik positif yang bertujuan menumbuhkan keterlibatan aktif masyarakat. kondisi ini diwujudkan bukan hanya dengan menggarap sektor pendidikan secara serius, perlu komitmen kuat terhadap nilai-nilai demokrasi, salah satunya dengan keterbukaan akses yang inklusif bagi masyarakat.

Kebutaan politik akar rumput terlihat sangat jelas di Garut. Banyak masyarakat yang tak peduli dengan kehadiran pilkada. Bahkan yang paling menyesakan, banyak diantara masyarakat yang melihat pilkada sebagai momentum untuk mencari uang recehan semata. Walau terkesan subjektif, namun fakta dilapangan sangat sulit untuk dibantah.

Tingkat partisipasi politik masyarakat hanya sebatas dalam pencoblosan, itu pun termobilisasi kepentingan atau uang receh yang bertebaran, bukan atas kesadaran untuk mencari pemimpin yang di idamkan. Dibalik runtuhnya karakter masyarakat, kita harus melihatnya dari perspektif korban. Dimana kondisi tersebut bisa terjadi tidak terlepas dari kegagalan pemerintah yang tidak pernah hadir ditengah-tengah persoalan masyarakat.

Pada akhirnya masyarakat mengalami kejenuhan akibat kondisi yang terus berulang, sehingga banyak melakukan penyelewengan diluar batas nilai etik yang menjadi landasan.

Permasalahan ini harapannya bisa menjadi bahan kontemplasi bersama, kondisi kebutaan politik yang terjadi di akar rumput masyarakat Garut harus mulai kita perbaiki. Ini bukan hanya tentang cara pandang, tapi kemauan untuk berbenah.

Jangan sampai kondisi akut ini terus dinormalisasi dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum penghamba status quo yang mencoba mencari peruntungan ditengah penderitaan masyarakat. Inilah jurang demokrasi yang sesungguhnya.

Politik kehilangan ruh ideologisnya, dimana negara hanya dijadikan sebagai objek untuk mencari suaka dan masyarakat menjadi korban dari pembusukan politik yang membawa pada jalan terjal kesengsaraan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top