HORISON, EDUNEWS.ID – Baru saja kemarin kita merayakan hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Segenap warga negeri, anak-anak dan tua-muda larut dalam pesta kegembiraan perayaan ini. Beragam lomba dan pertunjukan turut meramaikannya. Di jalan-jalan besar sampai lorong-lorong jalan diwarnai dan dihiasi aneka bendera dan pernak-pernik atribut demi mempercantik tampilannya. Siapa pun yang melihatnya serasa damai dan sejuk. Hati pun larut dalam kebahagiaan tak terperi mendengar senandung syahdu melodi perjuangan.
Negeri yang sudah merdeka sejak 71 tahun lalu ini masih akan terus berproses menyempurnakan kemerdekaannya. Rakyat kecil yang masih banyak terampas hak-haknya, keadilan yang masih akan terus diperjuangkan, dan masih banyak hal yang perlu dibenahi di sana-sini. Malam saat menulis tema ini, sambil menyaksikan tayangan konser di TVRI saya terharu menyaksikan pementasan anak-anak Duta Cinta menyanyikan lagu “Aku Bangga Jadi Anak Indonesia” karya Titiek Puspa. Wajah-wajah yang ceria, gembira, riang, dan enerjik bernyanyi sambil menari, menjadi sebuah harapan akan gambaran ideal dunia anak yang bahagia. Apakah rata-rata anak Indonesia sudah bahagia dan merdeka?
Untuk menjawab pertanyaan ini tentu diperlukan penelitian yang akurat. Saya hanya ingin melihatnya dari tinjauan umum saja. Berdasarkan berita-berita yang terbaca, terlihat, dan terdengar oleh indera manusia. Bahwa masih sangat bertumpuk masalah yang menimpa dunia anak-anak. Mulai kasus kekerasan fisik, kekerasan seksual, sampai kekerasan psikis yang tersamar. Semua saling berkelindan satu dengan lainnya, terjerat bingung mesti memulainya dari mana. Siapa yang salah? Atau siapa yang harus bertanggung jawab?
Bangsa yang merdeka hendaknya diiringi dengan jiwa-jiwa yang juga merdeka. Terutama jiwa anak-anak yang sampai saat ini masih banyak menghabiskan hari-harinya dalam tekanan dan ketertindasan. Tekanan ekonomi hingga tekanan sosial, ketertindasan psikis juga ketertindasan fisik. Lalu kepada siapa mereka akan menyandarkan masa depannya? Tentu kepada orang-orang dewasa yang sudah merdeka, merdeka bukan hanya raga tapi juga merdeka jiwanya. Karena hanya orang-orang merdeka yang bisa memberikan jaminan kemerdekaan pula. Manakala jiwa belum merdeka, manalah ia mengetahui makna merdeka yang hakiki.
Sebagai langkah awal dan sederhana, mari bahu-membahu saling bekerjasama mendukung lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat agar mampu menyediakan ruang dan kesempatan pada anak dalam mengekspresikan kemerdekaannya. Bukan merdeka dalam hura-hura, bukan pula merdeka dalam bertindak anarkis, atau bukan merdeka dalam bertindak kurang ajar terhadap orang dewasa di sekitarnya. Lalu merdeka dalam bentuk yang bagaimana?
Ialah dikatakan merdeka jika anak memiliki perasaan aman dan damai hidup di tengah keluarga yang harmonis. Jika anak masih dihinggapi perasaan was-was pada segala kemungkinan perlakuan orangtua yang di luar batas, maka anak belum merdeka dalam memperoleh ketenangan jiwa. Jika anak masih selalu dihantui perasaan takut akan dimarahi karena tindakan-tindakan yang tidak tepat di mata kita, maka anak belum bisa dikatakan merdeka dalam bertindak. Bahkan jika untuk mengutarakan pendapat saja anak masih belum berani menyatakannya di hadapan orang dewasa di sekitarnya, maka itu pun dikategorikan anak belum merdeka dalam berpendapat.
Memanglah benar untuk meraih sebuah kemerdekaan diperlukan usaha yang tidak ringan. Jika para pahlawan bangsa telah sangat berjasa, rela berkorban nyawa demi meraih kemerdekaan negeri ini, maka kita sebagai pelanjut perjuangannya tidak lagi melakukan hal yang sama. Tapi membangun dimensi yang berbeda sebagai sebuah bentuk perjuangan yang lain. Memerdekakan jiwa anak-anak yang menjadi tanggung jawab kita semua. Inilah salah satu proyek besar kita saat ini.
Mauliah Mulkin. Ibu Rumah Tangga. Bergiat di Kelas Literasi Paradigma Institute.