JAKARTA, EDUNEWS.ID – Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengkritisi dugaan teror pada diskusi yang diselenggarakan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dengan topik pemberhentian presiden berujung pembatalan. Dia menilai kejadian itu menunjukkan karakter otoritarianisme yang kembali muncul.
“Ini menunjukkan karakteristik otoritarianisme yang mulai muncul lagi,” ujar Denny dalam seminar nasional bertema ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19’, Senin (1/6/2020).
Denny menyesalkan munculnya sikap itu karena masyarakat sejak lama telah berupaya menghilangkan sifat otoriter yang pernah terjadi di masa orde baru. Karenanya kejadian terkait diskusi tersebut menunjukkan gejala lama pada masa orde baru muncul kembali.
“Kita yang mendorong menghilangkan sifat-sifat otoriter dari Orde Baru terganggu lagi dengan muncul kembali karakter tersebut,” katanya.
Menurut Denny, karakter otoritarianisme di masa sekarang mudah dijumpai dalam sistem pemusatan kekuasaan hingga praktik-praktik kecurangan yang terjadi dalam pemilu. Ia meyakini, dugaan teror yang terjadi pada diskusi UGM itu hanya menunjukkan sedikit dari sejumlah karakteristik otoriter pemerintah yang perlu dikritisi.
“Diskusi di UGM ini hanya satu, dua, dari pola-pola otoritarian yang kembali muncul dan harus kita sikapi dengan kritis,” kata Denny.
Sebelumnya, Agenda diskusi mahasiswa Constitusional Law Society (CLS) Fakultas Hukum UGM pada 29 Mei 2020 bertema ‘Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan’ terpaksa dibatalkan.
Dekan FH UGM, Sigit Riyanto dalam keterangan tertulis mengatakan, pembatalan itu lantaran pembicara, moderator dan narahubung agenda diskusi, serta ketua CLS mendapat teror dan ancaman pembunuhan sejak malam sebelumnya. Polisi menyebut akan mengusut pelaku teror tersebut.
Tak Ada Alasan Kuat
Menyinggung persoalan pemberhentian presiden ini, Denny mengatakan bahwa pemberhentian atau pemakzulan Presiden Joko Widodo sangat sulit dilakukan. Selain alasan yuridis, proses di DPR hingga nantinya diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi akan sulit, mengingat sedikitnya partai oposisi di parlemen.
“Syarat di DPR sekarang saja berat. Oposisi sekarang tinggal PKS dan Demokrat. Bisa kita duga hitung-hitungan (pemberhentian) bisa ditolak DPR,” ucapnya.
Di sisi lain, sikap Jokowi yang dinilai sejumlah pihak lambat dalam menangani kebijakan covid-19 juga tak bisa menjadi alasan kuat untuk pemakzulan. Menurutnya, pemakzulan harus memenuhi syarat pelanggaran dengan pembuktian.
“Secara konstitusional sulit hanya menggunakan penanganan covid-19 untuk memakzulkan. Kecuali ada pelanggaran seperti korupsi,” ujar Denny.
cnn