SAMPEAN

Buku, Menyemai Nalar Kritis Mahasiswa

Oleh : Sampean*

SKETSA, EDUNEWS.ID – Semakin sering membaca, nalar pun semakin kritis~Seorang intelektual yang diam ketika terjadi ketidakadilan dan ketimpangan, ia sedangmembohongi nuraninya. Kediaman kaum intelektual mempercepat kehancuran tatanan sosialdengan membiarkan orang-orang jahat berperilaku sesuai kehendaknya. Oleh karena itu, Robert Brym (1993 : 5) mengungkai semakin tinggi derajat orang-orang dalam pendidikantertentu “menjadi Kaum intelektual” semakin besar dia menjadi sayap kiri karena rasa tanggung jawab sosialnya semakin besar. Pernyataan Bryam didasari atas situasi sosial yang timpang di masyarakat Amerika Serikat maupun di Uni Soviet.

Pada dasawarsa 1960 Amerika dilanda gerakan Radikalisme yang bertumbuh subur dari dalam kampus baik dosenmaupun mahasiswa. Kebertumbuhan itu didukung dari pertumbuhan literatur dan keilmuan dalam kampus, perkembangan radikalisme terjadi di sekitar kota Boston, New York,Berkeley, Ann Arbor, Serta Madison. Sedangkan, di Uni Soviet bertumbuh di kota Moskwa,Akademi gorodok, Novorsibirsk. Orang-orang yang berada dalam sayap kiri, adalah orang yang prihatin terhadap kondisi sosial.Peningkatan nalar kritis dan kesadaran dalam lingkungan sosial dipengaruhi oleh kemelekan aksara. Kemelekan aksara dan Tanggung jawab sosial bertumbuh dengan kesadaran dalam menentukan sikap ilmiah seorang intelektual.Edwar Said (2014 : 18) menegaskan bahwa seharusnya intelektual menempatkan dirinya sejajar dengan yang lemah, dan yang tak terwakili.

Penceburan seorang intelektual ke dalam kelas bawah telah menjadikewajibannya. Maka, mahasiswa yang sedang menyemai nalar kritis dari buku-buku tak patut di persalahkan. Nalar kritis yang tumbuh atas kepedulian mereka dari situasi sosial yang mereka jalani. Itu pertanda bahwa mahasiswa telah menyadari tanggung jawab sosialnya. Dosen pun bertugas membimbing mahasiswanya dengan perimbangan literatur dan bacaan yang dipunya. Bukan, dengan memberangusnya.

Menurut penyangsian Zen RS (dalam tirto.id), dosen Buya Syafii Maarif paling demokratis dalam membina mahasiswa, ia bahkan menganjurkan membaca literatur-literatur kiri. Meskipun, beliau meyakini bahwa komunis dan marxisme sudah berada di tiang gantung sejarah. Sebab itu, Buya Syafii Maarif meyakini dirinya sebagai pendidik dan mahasiswanya sebagai pembelajar, yang harus ia dampingi terus menerus. Seorang dosen pun harus terbuka terhadap kritikan sosial begitu pun dengan mahasiswa. Sebab, baik dosen maupun mahasiswa mereka adalah bagian dari “intelektual”, yang punya tanggung jawab sosial dalam mengembang amanah keilmuan. Mahasiswa dan dosen masing-masing mengembang amanah kemaslahatan orang banyak, pengembangamanah pencerahan.

Tugas utama seorang intelektual adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka, civitas akademik atau masyarakat Perguruan tinggi tidak bisa anti terhadap kritik. Perkembangan ilmu pengetahuan barat, didorong oleh budaya kritik di kalangan ilmuwannya. Revolusi senyap ilmu pengetahuan karena didorong dengan nalar kritis dan pertumbuhan paradigma-paradigma baru dalam ilmu pengetahuan. Budaya kritik itu tumbuh dari penggalian literatur dan akses referensi yang memadai. Perkembangbiakan pengetahuan tentunya atas dorongan budaya membaca, menulis, meneliti, dan publikasi dikalangan ilmuwan. Karya-karya mereka pun sangat terbuka untuk dikritik, sungguh berbeda dengan konteks keindonesiaan. Sebagaimana, yang diungkapkan Ignas Kleden (1987 : Xivii) bahwa biasanya buah pikiran seseorang dianggap bahagian dari status sosialnya atau pantulan pengaruh politik darinya sehingga perkembangan pemikirannya tidak dapat diuji validitasnya. Sebab, pengaruh status sosial dan politiknya membuat dia sulit dikritik.

Baca Juga :   Bagaimana Ormawa Kampus Menyuburkan Mental Hipokrit

Kenyataan ini, berimbas pada budaya akademik, yang menempatkan dosen di atas segala-galanya. Mahasiswa pun merasa canggung berhadapan dengan dosennya. Kenyataan ini, terjadi di beberapa perguruan tinggi di Indonesia di antaranya Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta mencabut izin Pendapa yang merupakan Lembaga Pers Mahasiswa UST, Pengkriminalan Nanda Feriana (23), mahasiswi Universitas Malikussaleh Aceh, atas surat terbuka dibuatnya. Baik pembredelan maupun pengkriminalan upaya membungkam nalar kritis mahasiswa. Langkah-langkah semacam ini sungguh tidak elok untuk dikembangbiakkan. Ketika nalar kritis tumbuh dilingkungkan kampus, itu pertanda bahwa kampus itu sedang baik-baik saja. Perkembangan kesadaran mahasiswa seiring dengan kebiasaan dalam menalar dan menganalisis bacaan dan kondisi sosial di sekitarnya.

Mahasiswa dituntut untuk peka terhadap realitas sosial di sekitarnya. Apabila mahasiswa tidak peka dengan kondisi sosialnyamaka perlu dipertanyakan status keilmuan dan kemahasiswaannya. Apatah lagi, mahasiswatersebut berasal dari disiplin ilmu sosial khususnya sosiologi. Kepekaan mahasiswa ilmu sosial telah didorong untuk mengenali realitas sosialnya. Berger (1985) pun menyarangkanuntuk membongkar dan menelanjangi kenyataan sosial. Kekuatan untuk melakukan pembongkaran dan penelanjangan didapatkan dari penelusuran buku dan berbagai literatur. Pembongkaran dan penelanjangan terhadap situasi sosial didukung oleh nalar kritis mahasiswa. Maka, keseringan membaca buku berbanding lurus dengan peningkatan nalar kritis mahasiswa. Hanya satu cara membungkam mahasiswa dengan membiarkan dia bodoh tanpa akses literatur, mahasiswa pun tidak akan pernah memberontak.

Pada saat itu pula, mahasiswa akan benar buta akan kenyataan sosial disekitarnya. Mahasiswa pun tidak pernah lagi bersuara atas nama kemanusiaan. Suara kemanusiaan pun di obral ke mana-mana atas nama demonstrasi. Lantas, di mana peran pendidik yang bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa, penuntut jalan pencerahan.
Sampean : Lahir di Bulukumba, 10 Februari 1989. Penulis Pernah Bergiat di Komunitas Belajar Menulis (KBM) di Yogyakarta. Alumni Sosiologi UNM. Dan, sementara menempuh pendidikan pasca sarjana Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Edunews.

Kirim Berita

Kirim berita ke email : [email protected][email protected]

ALAMAT

  • Jl. TB Simatupang, RT.6/RW.4, Jati Padang, Kec. Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540 Telepon : 021-740740  – 0817 40 4740

__________________________________

  • Graha Pena Lt 5 – Regus Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Makassar Sulawesi Selatan 90234 Telepon : 0411 366 2154 –  0811 416 7811

Copyright © 2016-2022 Edunews.ID

To Top
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com