Oleh: Sopian Tamrin*
SOSIO-KOSMIK, EDUNEWS.ID – Tidak pernah disangka sebelumnya bahwa kita akan berada pada situasi zaman seperti ini. Namun tidak perlu lebai nan berlebihan. Dalam sejarah masih begitu banyak peristiwa besar yang mengguncang dunia bahkan memakan korban lebih banyak. Pada posisi tertentu, saya masih bersyukur berada pada situasi seperti ini.
Seringkali saya mengundang pertanyaan untuk menetralisir kejengkelan pada situasi. Misalnya, bagaimana jika seandainya saya ada dalam suasana mencekam lainnya seperti perang dunia, penjajahan, atau sebagai bangsa Yahudi di era Nazi.
Tanpa bermaksud mereduksi kapasitas bencana yang kita hadapi saat ini, tapi pada kenyataannya tepat disebutkan bahwa setiap era ada masalahnya dan setiap masalah ada hikmahnya. Lagi-lagi saya ingin mengintip situasi ini dari sisi yang lain untuk memperoleh perspektif lain pula selain data korban yang ditampilkan media setiap waktu.
Sungguh meruah pesan yang tertanda dalam momen ini yang bisa menjadi pelajaran jika diperhatikan dengan khidmat. Meskipun tak bisa dinafikan bahwa banyak di antara kita lebih banyak mengeluh bahkan meratapi. Hemat saya, takaran kualitas kita bukan dari beratnya masalah yang dihadapi melainkan dari cara kita melewatinya. Begitu banyak yang hidup di situasi mencekam, tapo tetap saja mati dalam keadaan tak berharga.
Menjadi penting untuk menenangkan diri dalam situasi dunia yang sedang guncang. Jika meminjam terminologi filsuf Prancis Paul Virilio bahwa saat ini kita berpijak pada era di mana dunia dalam kondisi percepatan (dromos). Dunia yang cepat ini adalah dunia yang tak terkendali terus bergerak menuju kemusnahannya.
Apa dan bagaimana kondisi kita saat ini mirip seperti yang digambarkan oleh Ulrick Beck sebagai risk society. Kita telah mengalami konsekuensi modernitas sebagaimana yang dijelaskan Antony Giddens.
Begitu juga menurut sosiolog Polandia Sygmunt Bauman bahwa kita berada pada titik ‘modernitas akhir’ yang amat rentan dengan risiko. Sepertinya, inilah saatnya untuk menarik berbagai makna di tengah pesan-pesan alam melalui Corona.
Itulah sebabnya kita membutuhkan perlambatan ini sebagai kesempatan untuk mengeja diri dan dunia. Ayolah kita mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kecil untuk dunia dan kehidupan yang berharga ini.
Coba kita menyasar hal prinsip pada dunia modern ini. Antaranya; kecepatan, kemajuan, dan semacamnya. Pertama; untuk siapa dunia ini dipercepat? Untuk siapa istilah kemajuan itu disematkan? Atas nama siapa sih kemajuan itu diperjuangkan? Kemakmuran dan kesejahteraan apa sih yang telah kita capai saat ini? Silahkan ajukan sebanyak mungkin!
Apakah kita tidak merasakan keanehan dunia yang bergerak cepat ini? Bangsa atau negara sedang berlomba dimajukan namun wajah kemanusiaan justru dimundurkan? Berapa banyak laut harus ditimbun untuk mencapai hasrat menjadi kota atau negara maju? Berapa banyak hutan harus digundulkan untuk disebut negara industri.
Berapa banyak isi bumi harus dihisap untuk mencapai target pertumbuhan? Terlalu lama kita memeras alam untuk cita-cita yang tidak juga diketahui untuk siapa dan kebaikan apa. Toh kemiskinan pada negara kaya sekalipun masih saja langgeng dipertontonkan.
Kembali ke soal virus. Di saat virus ini baru melanda beberapa bulan, lapisan ozon tertutup kembali, sungai di Venesia-Italia menjadi jernih, kualitas udara di Tiongkok semakin membaik. Paling tidak itulah implikasi langsung saat aktivitas industri berhenti sejenak pada negara maju. Membaiknya alam saat ini adalah tanda bahwa kegiatan industri jelas tidak ramah terhadap alam.
Peneliti asal Stanford University, Marshall Burke menyatakan bahwa penurunan polusi udara di Tiongkok dianggap telah menyelamatkan ribuan orang dari kematian akibat udara beracun.
Dalam buku Pembangunan Tanpa Teori, Craig Jhonson mencoba membongkar asumsi-asumsi yang digunakan neoliberal dalam pembangunan. Melalui buku itu setidaknya kita bisa memahami watak dari ideologi pembangunan negara maju. Jika anda menuntaskan membacanya paling tidak bisa bertanya bahwa pembangunan itu untuk siapa sih?
Masalah kemanusiaan yang nampak pada wajah pembangunan wajib kita catat sebagai tantangan besar. Ini tidak bisa dilepaskan dengan basis cara kita mendefenisikan dunia (world view). Jauh hari sudah dikhawatirkan bahwa antroposentrisme ini akan membuahkan malapetaka besar.
Seorang intelektual muslim asal Iran, Hossein Nasr telah mengeritik konsep cogito-nya Rene Descartes sebagai biangnya. Adagium Descartes dianggap telah mendikotomi manusia dengan entitas yang lain termasuk alam. Sehinga alam hanya dilihat sebagai objek dari superioritas manusia yang dikukuhkan sebagai subjek berpikir.
Selain itu Nasr, Whiliam Chitick juga menawarkan paradigma antropokosmik sebagai kritiknya terhadap pandangan antroposentrisme yang membumi di dunia barat.
Sudahlah, ini semacam isyarat agar bumi bisa sedikit bernafas.
Secara kosmologis, bumi bisa dimaknai sebagai ibu kehidupan. Olehnya itu semua yang lahir dan tumbuh di atasnya adalah anak dari Ibu Kehidupan. Jika demikian berarti kita punya hubungan yang amat batih dengan bumi.
Jika meminjam istilah Chitick bahwa dalam relasi antropokosmiklah kita bisa menata itu, karena kita melihat bumi sebagai bagian dari kita dan kita adalah bagian darinya. Artinya jika kita menjaga bumi sama halnya menjaga diri sendiri dan begitu juga sebaliknya merusaknya berarti merusak diri kita sendiri.
Wallahu a’am bissawab.
Sopian Tamrin, S.Pd., M.Pd., Staf Pengajar FIS UNM, Direktur Eksekutif Education Corner.