Oleh: Sopian Tamrin*
SOSIO-KOSMIK, EDUNEWS.ID – Coba kita menyelidiki kata apa yang paling sering diucapkan ataupun dituliskan saat ini maka dipastikan itu adalah “corona”. Jika anda bisa membaca perasaan Tuhan mungkin ia sedang cemburu pada kata itu.
Seperti biasanya kelahiran satu makhluk akan mengukuhkan identitas gen atau spesiesnya. Namun sepertinya berbeda dengan makhluk yang bernama Covid-19 ini. Ia lahir sebagai virus namun ditafsirkan dengan istilah yang bermacam-macam.
Virus ini melanda pertama kali di kota Wuhan, Cina selanjutnya menyebar ke Iran. Fakta ini kemudian dibaca spontan sebagai mainan Amerika. Meskipun awalnya banyak yang teriak bahwa ini tak lain adalah “tentara Allah”. Dalam perkembangannya ternyata menyebar ke Italia bahkan Amerika sendiri dengan jumlah penularan yang fantastis.
Jumlah yang terjangkit pada negara yang katanya adi kuasa dengan segala hal itu, faktanya jauh lebih tinggi melebihi daerah asalnya. Padahal baru saja kita menghubung-hubungkan dengan beberapa kecurigaan untuk membangun argumentasi bahwa ini adalah konspirasi atau perang dagang antara Amerika dengan Cina namun data itu menimbulkan ruang tafsiran baru lagi.
Percakapan hangat ini sepertinya belum menunjukkan tanda meredanya. Tak pelak tafsir-menafsir menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Mungkin inilah satu topik paling bersejarah pada abad ini yang memancing semua ahli untuk mengomentarinya. Dari perspetif sains, politik, ekonomi bahkan agama.
Secara sains, Yuval Noah Harari misalkan salah satu yang paling banyak dikutip untuk mewakilkan pandangan ilmiah. Yuval tidak hanya menjelaskan tentang virus sebagai fakta biologis melainkan satu kemajuan atas mutasi virus. Bahkan tidak jarang analisis besar mengutip istilah beliau bahwa virus ini tak lain adalah senjata biologi dari kecanggihan biotek.
Bukan hanya tafsiran sains melainkan fenomena ini justru menjadi satu variabel terpenting dalam analisis ekonomi semua negara saat ini.
Berdasarkan analisis Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) bahwa efek corona secara ekonomi akan lebih buruk dibanding krisis finansial pada tahun 2008. Bisa dilihat bahwa fenomena ini berhasil mempertontonkan kerentanan hampir semua negara dalam berbagai aspek, salah satunya adalah ekonomi. Ia telah memporak-porandakan klaim kedigdayaan negara maju tak terkecuali Amerika.
Namun dalam tulisan ringkas ini saya tidak ingin melanjutkan analisis besar yang tidak terlalu dimengerti oleh banyak masyarakat bawah.
Satu hal terdekat, juga penting untuk diungkap sebagai realitas yang sedang mewabah layaknya virus. Apa itu? Wabah itu bernama ketakutan. Ketakutan menjadi satu persoalan penting yang harus diurai seluknya. Mengapa? karena hal ini berimplikasi terhadap perilaku dan perlakuan pada sesama begitupun cara berelasi dengan virusnya.
Takut Virus atau Tafsirannya?
Perspektif sebagai kacamata ternyata betul – betul membuat makhluk bernama corona ini berwarna-warni dalam pandangan. Seperti yang saya tuliskan di atas bahwa corona itu hanya satu, yang banyak itu tafsirannya.
Dari situasi semacam ini sulit rasanya untuk menyimpulkan bahwa apa benar kita takut karena virusnya atau sebenarnya ketakutan itu justru pada tafsirannya. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa corona saat ini tidak lagi sebagamana adanya dirinya sebagai virus (das ding an sich) melainkan sebagai tafsiran atas dirinya.
Bahkan tafsir atasnya bisa menciptakan efek perilaku lebih kuat dibanding virusnya sendiri. Kita bisa mengambil contoh dari implikasi ketakutan dalam bentuk praktik sekaligus mempertanyakannya.
Misalnya, Mengapa banyak menimbun masker? Mengapa masyarakat menolak jenazah covid-19? Jika meminjam istilah sosiolog Erving Goffman dengan konsep “stigmanya” bahwa covid-19 ini sudah terlanjur terstigma di tengah masyarakat. Stigma itu terbangun dari obesitas informasi yang cenderung menebarkan ketakutan dibanding edukasi.
Di sinilah kita bisa melihat bahwa bagaimana respon terhadap tafsiran telah melampaui bahkan mendistorsi makna sesuatu itu sendiri, demikian juga dengan tafsiran atas covid-19 hari ini. Olehnya itu perlu mendudukkan segalanya dalam kerangka ilmu yang tepat agar kita bisa menempatkan ketakutan pada posisi yang semestinya. Isitilahnya “buanglah ketakutan pada tempatnya”.
Pada posisi yang tepatlah kita bisa mengatasi masalah ini dengan tepat. Artinya sebagaimana adanya virus harus dihapapi secara proporsional. Toh saat ini kita sedang berhadapan-hadapan dengan virusnya. Tentu kita sebagai makhluk penafsir tidak bisa dinafikan kegatalan itu, hanya saja tetap penting untuk menempatkan virus sebagai fakta biologis.
Seperti kerisauan Tom Nichols dalam The Death of Expertise salah satu yang membunuh kepakaran, banyaknya penafsir yang tidak jelas keilmuannya.
Mengutip pernyataan Yuval malam tadi “If somebody tries to convince you of a conspiracy theory about the origin and spread of coronavirus, ask them to first explain what a virus is, and how it causes disease. If they don’t have a clue, don’t trust their theory. A PhD isn’t a must – but basic biology is”.
Tugas kita saat ini mengembalikan otoritas tafsir dan praktis pada ahlinya karena jika kita tidak menyelesaikan virusnya maka tafsirannya juga tidak akan pernah selesai. Adapun tafsirannya sebaiknya perlu terkanalisasi dengan baik agar tidak mewabah kemana-mana. Karena tugas berat kita saat ini selain mengatasi penyebaran wabah virus biologisnya juga kewalahan menghadapi penularan wabah ketakutannya.
Sekali lagi, jadi bagaimana kita menyikapi soal ketakutan itu? Yah….Takutlah pada sesuatu yang meski ditakuti karena ketakutan pada sesuatu yang tak seharusnya itu juga menakutkan.
Takutlah pada sesuatu yang tepat juga dengan cara yang benar. Mengapa demikian? Karena jangan sampai ketakutan kita saat ini justru mencederai pesaudaraan kita sesama manusia sebagai warga masyarakat, bangsa dan dunia.
Sopian Tamrin, S.Pd., M.Pd., Staf Pengajar FIS UNM, Direktur Eksekutif Education Corner.