Oleh: Sopian Tamrin*
SOSIO-KOSMIK, EDUNEWS.ID – Bahasa dan politik adalah dua hal yang tak terpisahkan. Politik adalah jalan untuk meraih simpanti demi kepentingan dan kekuasaan. Sedangkan bahasa adalah alat untuk meraih simpati sebanyak mungkin. Memasuki tahapan kampanye tentu memiliki persiapan khusus kandidat untuk meraih simpati masyarakat. Tak jarang mereka harus blusukan demi mengidentifikasi basis suara di daerah tertentu.
Seorang sosiolog kritis, Habermas, mengartikan bahasa sama halnya kepentingan. Kepentingan bagi pengguna bahasa dan mereka memiliki kekuasaan mengusai bahasa. Bahasa adalah jalan menuju pada kekuasaan sekaligus alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Dalam KBBI sarkasme diartikan sebagai (penggunaan) kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain; cemoohan atau ejekan kasar. Gaya bahasa semacam ini seringkali digunakan untuk menyerang kandidat lain. Pemilihan gaya sarkasme biasanya muncul dalam situasi untuk melemahkan kandidat tertentu, dan tak jarang merambah pada persoalan pribadi. Ya, politik bagi kaum weberian memang pertarungan interpretasi untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara apapun, dengan siapapun.
Bahasa dalam musim kampanye tidak boleh diremehkan. Mengapa? Stabilitas selama proses politik sangat ditentukan oleh bahasa yang dimainkan para kandidatnya. Jika kandidat seringkali mengujar kebencian dan kerendahan kandidat tertentu maka pada tingkat bawah akan berkembang pola bahasa yang sama.
Masyarakat sering kali mengutip kandidatnya dalam menyakinkan yang lain. Sehingga patronnya ada pada kandidat itu sendiri. Masa kampanye ini kita akan betul-betul merasakan bagaimana efek bahasa politik terhadap dinamika masyarakat.
Bahasa adalah pernak–pernik politik yang paling berharga di masa kampanye. Besarnya simpati masyarakat amat dipengaruhi oleh bahasa yang digunakan. Dalam situasi semacam ini biasanya para kandidat menggunakan bahasa eufimisme sebagai cara memperhalus maksud kepentingan prolehan suara.
Kandidat akan berlomba–lomba memainkan bahasa politik persuasif. Dalam situasi tertentu mereka menggunakan bahasa sarkasme untuk menyerang kandidat lain sekaligus memantapkan dirinya seolah-olah lebih baik. Untuk mendapatkan reaksi simpati, eufimisme adalah cara merasionalkan maksud berkuasa dengan bahasa yang persuasif. Bahasa kekuasaan biasanya diganti dengan bahasa amanah dan tanggung jawab. Meskipun itu hanyalah cara bagaimana kandidat membungkus ambisi kekuasaan namun lebih baik daripada memainkan gaya sarkasme.
Masa kampanye adalah peluang mengindentifikasi peta dan basis masyarakat. Semua identias dan struktur masyarakat akan masuk dalam hitungan suara. Tentu memiliki isu yang berbeda–beda. Tak jarang musim semacam ini dijadikan ajang pamer janji atas
Selain bahasa politik persuasif juga seringkali para kandidat menggunakan bahasa kesedihan untuk meraih empati. Misalkan menyampaikan seakan seseorang yang terzalimi dalam memainkan perasaan masyarakat.
Kampanye dan janji kesejahteraan.
Musim politik adalah musim bahasa politik. Olehnya perang wacana hampir sulit dihindari sehingga tak jarang kandidat terbawa situasi dalam menjanjikan sesuatu pada masyarakat.
Bukan kampanye kalau tidak menjanji. Janji yang paling seringkali dijual adalah kesejahteraan. Olehnya itu seringkali kemiskinan fungsional dalam memainkan wacana ekonomi setiap musim kampanye.
Kemiskinan dalam strategi politik seringkali sekadar komoditas dibanding problem sosial yang harus dituntaskan. Artinya jika masih ada kemiskinan bagi politik berarti masih ada harapan untuk menjanji. Inilah yang dimaksud dengan komodifikasi kemiskinan yang secara tidak sadar mereproduksi kemiskinan melalui sistem politik.
Konsekuensi situasi semacam ini akan berat dipertanggungjawabkan khususnya kandidat terpilih. Toh janji hanya alat, kalau sudah sampai pada tujuan kekuasaan, biasanya janji sebagai alat diparkir rapi nanti saat pilkada selanjutnya baru ditabur kembali.
Olehnya itu, musim kampanye adalah musimnya masyarakat membaca. Membaca dan memaknai bahasa para kandidat. Kepentingan untuk berkuasa harus mencari kesamaan keresahan dengan bahasa rakyat. Artinya mereka harus melakukan penyesuaian dengan persoalan yang dihadapi masyarakat. Agar bahasa yang disampaikan seakan-akan mewakili harapan masyarakat.
Jhon Austin seorang filsuf bahasa menilai, Aktor politik sebaiknya tidak hanya menampilkan tontonan melainkan menginspirasi tuntunan. Konsisten dengan ucapan agar tak merusak orang lain. Dengan istilah populer Austin, “We say something, we do something”.
Sedemikian ngototnya kandidat harus dibaca sebagai penanda besarnya ambisi kekuasaan. Tidak menebar kebencian dan ungkapan stereotip, namun memenuhi pesan retorika etis Fisher (1978;76), bahwa sebuah pesan logis yang mengutamakan pertimbangan nilai adalah dasar ideal mempersuasi masyarakat.
Sopian Tamrin, S.Pd., M.Pd., Staf Pengajar FIS UNM, Direktur Eksekutif Education Corner.