Oleh Ahmad Sahide*
SPEKTRUM, EDUNEWS.ID –Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, melemparkan wacana memasukkan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dalam kurikulum Sekolah Dasar, Sekolah (SD) Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) (Kompas.id., 7/05/2025). Saat ini kita memang tidak bisa menafikan hadirnya AI dalam dunia pendidikan dan dunia kerja. AI adalah produk dari kemajuan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi. AI dapat mempermudah dan mempercepat cara kerja manusia, baik itu dalam dunia pendidikan maupun dunia kerja.
Dulu, mahasiswa yang sedang menulis makalah, skripsi, tesis, dan disertasi harus banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan untuk mencari referensi (buku dan jurnal) terkait dengan topik yang ditulisnya. Kadang mahasiswa harus berpindah dari perpustakaan yang satu ke perpustakaan lainnya. Tanpa bantuan AI, mahasiswa dalam mencari kebaruan risetnya harus membaca buku dan jurnal yang ada di perpustakaan. Oleh karena itu, jika ada 100 artikel yang ditemukan terkait topik penelitiaannya, maka mahasiswa harus membaca 100 artikel tersebut untuk menemukan research gap atau kebaruan dari risetnya. Tentu saja membutuhkan waktu yang lama dalam membaca 100 referensi tersebut.
Kini, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat sehingga kecerdasan bauatan berhasil diciptakan untuk membantu dan mempercepat cara kerja manusia di bidangnya masing-masing. Dengan adanya kecerdasan buatan atau AI, mahasiswa yang sedang melakukan riset tidak perlu lagi membaca 100 artikel tersebut. Kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan aplikasi dalam membantu memahami ide utama dari artikel tersebut tanpa harus menghabiskan banyak waktu membacanya. Mahasiswa juga tidak perlu lagi melakukan safari keilmuan dari perpustakaan satu ke perpustakaan lainnya. Perpustakaan online bisa diakses di mana saja. Ruang dan waktu kini bisa ‘dilipat’ dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Begitu juga dengan yang lainnya, jika ingin menulis paper bisa meminta bantuan dari aplikasi chatgpt. Ini pun telah menjadi aplikasi yang cukup familiar di kalangan mahasiswa dan pelajar saat ini, bahkan dosen. Kalau akan melakukan presentasi dan diminta membuat power point, juga ada aplikasi yang bisa membantu. Dunia, dengan AI, terasa sangat mudah bukan?
AI dan Hilangnya Tradisi Keilmuan
Kecerdasan buatan memang sudah terbukti mempercepat dan mempermudah cara kerja manusia. Ini tidak terbantahkan. Akan tetapi yang menjadi kekhawatiran penulis adalah ketika kecerdasan buatan sebagai produk dari kemajuan ilmu pengetahuan tersebut akan menjadi titik balik dari kemunduran ilmu pengetahuan itu sendiri. Kecerdasan buatan tidak dimaknai untuk membantu dan mempercepat cara kerja manusia, tetapi menggantikan. Ini tentu akan berdampak pada runtuhnya tradisi keilmuan sebab proses keilmuan akan hilang. Kecerdasan buatan membantu manusia mencapai hasil tanpa proses yang dilalui. Mahasiswa bisa merangkum dengan baik gagasan pokok dari 100 artikel yang dibutuhkan dalam riset atau tulisannya tanpa harus membaca. Tapi tidak ada jaminan bahwa hasil dari merangkum 100 artikel itu memperkaya wawasan serta mempertajam analisisnya. Hasilnya jelas akan sangat berbeda jika mahasiswa menghabiskan banyak waktunya membaca artikel tersebut.
Inilah dampak dari hadirnya kecerdasan buatan sebagai produk dari puncak pencapaian ilmu pengetahuan. Kecerdasan buatan, jika tidak dimaknai dengan baik, akan mematikan tradisi keilmuan, menghilangkan tradisi membaca di kalangan pelajar, mahasiswa, dan juga pengajar (guru dan dosen). Tradisi menulis juga akan lemah sebab ada kecerdasan buatan yang bisa membantu menuliskan apa saja yang dikehendaki. Pada aspek inilah, hadirnya kecerdasan buatan atau AI akan menjadi titik balik dari kemunduran ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi. Jika kita tidak hati-hati dengan AI, maka ia akan melahirkan generasi yang miskin wawasan, gagasan, serta generasi yang ‘gagap nalar’. Apa jadinya bangsa dan negara ke depan jika dipimpin oleh generasi yang miskin wawasan dan ‘gagap nalar’?
Inilah yang menjadi catatan dan renungan bagi para pengambil kebijakan dan pendidik di republik ini. Bagaimana kita menjaga tradisi keilmuan (membaca, berdiskusi, dan menulis) di kalangan generasi muda dan masa depan bangsa tanpa harus menafikan hadirnya AI sebagai produk dan puncak pencapaian ilmu pengetahuan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang dipimpin dengan gagasan-gagasan besar dan gagasan besar akan lahr dari tradisi keilmuan yang kuat!
Ahmad Sahide, Dosen Hubungan Internasional Program Magister Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
