MAKASSAR, EDUNEWS.ID – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Makassar kembali menggelar peningkatan kapasitas pengurus Shelter Warga di Hotel Royal Bay, Senin (6/9/2023).
Kegiatan tersebut menjadi yang pertama kalinya lagi digelar setelah adanya tambahan 15 shelter warga baru di 15 kelurahan Kota Makassar.
Adapun saat ini, Shelter Warga yang ada di kota Makassar berjumlah 85, tersebar di 15 kecamatan dan 85 kelurahan.
Kepala DPPPA Makassar, Achi Soleman, menyampaikan, saat ini Shelter Warga di Makassar menjadi percontohan di daerah lain.
Salah satu alasannya, yakni karena terdapat varian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Makassar.
“Salah satu kenapa (Makassar) jadi rujukan, karena varian kasusnya ada. Kalau kita lihat Makassar ini ada semua mi kasus. Kayak tong mi supermarket, mau cari apapun juga ada,” jelas Achi di hadapan peserta.
Banyaknya laporan kasus yang tercatat, tidak lepas dari adanya Shelter Warga yang mendekatkan layanan ke masyarakat hingga pada level kelurahan.
Kabupaten/kota lainnya pun, kata Achi, antusias belajar dari Kota Makassar untuk membentuk organisasi sejenis Shelter Warga.
“Saya kemarin bawa materi di Bursa Kawasan Indonesia Timur, ternyata antusias kabupaten kota lain yang mau belajar tentang Shelter Warga. Karena bisa melakukan upaya pencegahan dan penanganan,” terangnya lagi.
Kompleksnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mendorong Pemkot Makassar tak henti hentinya mengasah Shelter Warga sebagai ‘ujung tombak’ pemerintah.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan DPPPA Makassar, Hapidah Djalante, menyatakan peningkatan kapasitas yang digelar akan mengoptimalkan peran pendampingan dan manajemen kasus pengurus shelter.
Adapun kegiatan ini dilaksanakan bertahap dalam beberapa hari ke depan, dari pagi hingga sore yang diisi dengan pemberian materi dan tanya jawab, serta diskusi kelompok.
“Dilaksanakan bertahap. Jadi tabe‘ ini kegiatan dari pagi sampai sore,” tutur Hapidah.
Hadir sebagai narasumber aktivis serta pemerhati perempuan dan anak, yakni Husaima Husain, Salma Tadjang, dan Fadiah Machmud.

Diskusi kelompok pada kegiatan Peningkatan Kapasitas Shelter Warga di Hotel Royal Bay Makassar, Senin (6/9/2023).
Husaima Husain membawakan materi strategi advokasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Menurut Ema, sapaannya, kasus perempuan dan anak memiliki ke-khasannya sendiri.
Hal tersebut penting dipahami saat seseorang atau kelompok Shelter Warga berusaha melakukan advokasi.
Pertama, Ema menyebut ada ke-khasan dari aspek pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Kalau pelanggaran HAM umum, pelakunya sangat terkait dengan peran peran negara. Sedangkan, pelaku pada kekerasan perempuan anak itu bukan cuma dari institusi negara, tapi masyarakat, hingga keluarga terdekat korban. Jadi peran negara pun tidak cukup (untuk mencegah),” urainya.
Ke-khasan kedua, yakni kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tidak mengenal waktu dan tempat.
Ketiga, diskriminasi sebagai akar masalah.
“Makanya yang harus diadvokasi adalah sekatnya,” tegas Ema.
Ema lalu menekankan pentingnya Shelter Warga memperkuat jejaring dan membangun kemitraan untuk melakukan advokasi.
Senada, narasumber kedua, Salma Tadjang, membenarkan bahwa penguatan jejaring dan kemitraan sangat diperlukan shelter.
Untuk mewujudkan jejaring dan kemitraan, hal paling dasar yang diangkat Salma adalah teknik komunikasi efektif.
Ia mengingatkan, banyak hal yang mesti dicermati.
“Hukum komunikasi efektif adalah respect, empathy, audible, clarify, dan humble,” ujarnya.
Hal paling penting juga adalah menyimak dengan baik apa yang disampaikan orang lain, begitu pula sebaliknya.
Sebab, lanjut Salma, komunikasi efektif juga berlaku saat proses advokasi dilakukan, termasuk pendampingan kasus yang dilakukan oleh Shelter Warga.
“Informasi jangan sepotong, gunakan 5W+1H sehingga penanganan kasus itu juga lebih efektif dan efisien. Jangan sampai habis waktu gara gara informasi yang keliru,” pesannya.
Narasumber selanjutnya, Fadiah Machmud lalu menjelaskan cara untuk mempengaruhi kebijakan atau regulasi yang ada.
Kebijakan ini diperlukan dalam rangka mencegah dan menangani kasus terhadap perempuan dan anak.
Fadiah menjelaskan, cara mempengaruhi kebijakan mesti dimulai dari langkah kecil yang fokus.
“Jangan langsung menyarankan semuanya. Tidak diterima itu. Satu satu dulu kawal secara masif,” ungkapnya.
Isu yang diangkat juga, sambungnya, mesti dikemas semenarik mungkin dan diperkuat dengan adanya koalisi khusus, seperti contoh sebelumnya (ada kelompok yang fokus dan masif menyuarakan stop pernikahan dini, sehingga batasan usia pernikahan berhasil diamandemen).
“Jadi janganki‘ sendiri sendiri. Advokasi itu tidak bisa sendiri. Bentuk dulu lingkaran inti yang berpihak pada kita,” kata Fadiah.
Keterampilan lobi dan negosiasi pun berperan penting dalam upaya mempengaruhi kebijakan ini.
Fadiah juga mengajak peserta untuk diskusi secara berkelompok untuk membahas contoh isu yang dianggap mendesak, sekaligus langkah strategis untuk mencapainya.
