SURABAYA, EDUNEWS.ID – Kebijakan pemerintah yang mengalihkan tanggung jawab pengelolaan SMA dan SMK sederajat ke pemerintah provinsi ternyata dirisaukan bupati dan wali kota di Tanah Air. Di Surabaya, Wali Kota Tri Rismaharini khawatir jika tanggung jawab pengelolaan SMA dan SMK ke provinsi akan menyebabkan banyak anak putus sekolah. Sebab, selama ini Pemerintah Kota Surabaya memberikan pendidikan gratis kepada siswa SMA dan SMK.
Hal itu disampaikan Risma saat refleksi akhir tahun 2016 di Balai Kota Sabtu (31/12/2016) malam. Risma mengatakan pendidikan adalah kunci dari membentuk generasi yang unggul. Jika pendidikan gratis di Surabaya hilang, maka ia takut akan banyak anak Surabaya yang mendadak putus sekolah lantaran tidak bisa membayar uang sekolah.
“Di Surabaya itu ada anak SMK, sebelum sekolah itu dia jualan koran. Terus setelah itu dia sekolah, dia hidup ikut neneknya. Dia bilang ke aku, kalau sampai sekolahnya nggak gratis dia mending putus sekolah saja, dia kasihan pada neneknya,” kata Risma.
Oleh karena itu, Risma terus memperjuangkan pendidikan anak-anak tetap di kelola oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Harapannya, tidak akan ada lagi anak-anak yang putus sekolah yang akhirnya berdampak pada tindakan kriminalis. Sebab berdasarkan data yang didapatkan dari penelitian outreach dari anak-anak yang melakukan tindak kriminalitas di bawah umur biasanya adalah anak yang memang ada kekurangan dalam hal ekonomi keluarga.
“PR terbesarku adalah bagaiman pendidikan ini bisa dikelola oleh pemkot. Jujur aku khawatir kalau sampai anak-anak dipungut biaya SPP, kalau anak tidak mampu bagaimana. Dia bisa putus sekolah, lalu masuk ke dunia kriminalitas, radikalisme, terus mau jadi apa mereka nantinya. Ini yang aku takutkan,” kata Risma.
Banyaknya kriminalitas yang terjadi pada anak-anak usia dini, merupakan salah satu faktor dari putusnya sekolah yang diakibatkan tidak adanya biaya. Inilah yang akan menjadi pekerjaan rumah paling besar bagi mantan kepala Bappeko Surabaya ini.
Kondisi anak saat ini kata Risma, jauh berbeda dengan zaman dahulu. Anak-anak sekarang menurutnya lebih rapuh dan mudah dipengaruhi lingkungan. Sehingga membutuhkan pengawasan dari semua pihak, baik keluarga dan lingkungan. Dengan begitu, anak bisa terhindar sejak dini ajak-ajakan negatif.
“Kondisi ini gak mudah buat aku, aku takut sekali kalau anak-anaknya sampai terjerumus. Aku takut kalau mereka tidak bisa memanfaatkan waktunya dengan baik. Ini merupakan PR besar yang harus aku segera selesaikan, karena ini gak mudah,” tandasnya.