ABDULLAH HEHAMAHUA

Perawatan Integritas

Oleh: Dr. H. Abdullah Hehamahua, S.H., M.M.*

INTEGRITAS, EDUNEWS.ID – The Medical Research Council Social and Public Health Science Unit of United State of America mewawancarai 12.686 anak (14 – 22 tahun) untuk mengetahui tingkat kecerdasan mereka. Salah satu hasil temuan cukup phenomenal: kecer-dasan anak merupakan warisan dari ibu. Sebab, kecerdasan dibawa oleh kromoson X dari ibu. Oleh karena itu, menurut pakar neorolog Kementerian Kesehatan Indo-nesia, kalau mau anak yang cerdas, carilah isteri yang cerdas. Mengapa? Sebab, intelegensia seseorang dibentuk oleh tiga komponen: nutrisi, stimulasi, dan genetik. Sementara hasil penelitian menunjukkan, pengaruh peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam rahim, tiga kali lebih besar dibanding dengan pengaruh apa pun setelah bayi lahir.

Itulah sebabnya, seorang ibu yang profesinya guru, dosen, dan ustadzah yang bisaa mengajar ketika hamil, juga melahirkan anak yang cerdas karena pengaruh dalam rahim mereka ketika bertugas. Tidak heran kalau seorang artis juga melahirkan anak yang menjadi artis. Apakah seorang koruptor perempuan juga melahirkan anak yang nanti menjadi koruptor? Bisa iya, boleh jadi juga tidak. Sebab, hasil penelitian di atas menunjukkan, intelegensia anak ditentukan oleh wa-risan (ibu) sebanyak 45 persen (termasuk pengaruh-pengaruh dalam rahim), 35 persen nutrisi, dan 20 persen asuhan orang sekitarnya. Tidak kalah penting, hasil penelitian di atas juga mengatakan, kalau kecerdasan diwarisi dari ibu, maka karakter diwarisi dari ayah.

Apakah korupsi atau tindak kejahatan lain ada relevansinya dengan kecerdasan seseorang? Pengalaman di KPK, dari tiga ratusan koruptor yang ditangkap dalam rentang waktu 2005 – 2009, hanya seorang yang bukan sarjana. Selebihnya, S1, S2, S3, bahkan ada yang guru besar. Berdasarkan penomena yang ada, dapat dikatakan, korupsi atau tindak pidana lain, termasuk penyalah-gunaan jabatan, penzaliman, dan sikap amoral, lebih banyak ditentukan oleh karakter dan lingkungan yang ada di diri seseorang. Ingat, pada pertemuan pekan lalu, disebutkan, setiap manusia lahir membawa potensi malaikat dan iblis. Faktor lingkungan, menurut Nabi Muhammad, seorang bayi lahir dalam keadaan fitrah, kemudian kedua orang tuanya yang menjadikan dia, Yahudi, Nasrasni, atau Majusi.

Hasil penelitian yang disebutkan neorolog Kementerian Kesehatan di atas, 20 persen kecerdasan ditentukan oleh asuhan. Berarti, pendidikan di rumah, sumbang-annya, 20 persen. Dua puluh persen lainnya di luar rumah, yakni pendidikan sekolah dan pendidikan nonsekolah. Inilah yang kita kenal sebagai pendidikan formal, nonformal, dan informal. Bagaimana hubungannya dengan pernyataan Nabi Muhammad di atas? Jawabannya, tetap di orang tua. Bukankah, ketika usia balita dan anak-anak, orang tua yang memilih TK dan SD untuk anak-anaknya belajar? Bahkan, sampai jurusan di univeritas atau pekerjaan setelah selesai kuliah pun ada yang ditentukan orang tua. Jadi orang tua yang menentukan pilihan lingkungan asuhan anak-anaknya untuk menjadi Yahudi, Nasrani atau Majuzi. Padahal, pendidikan dasar (TK dan SD) menurut Nabi Muhammad, seperti menggores di atas batu, sampai kapan pun, tidak akan hilang. Sementara pendidikan pada usia dewasa, tak ubahnya dengan menggores di atas pasir, datang terpaan ombak atau hujan, garis itu pun hilang. Di sinilah peranan karakter ayah dan kecerdasan ibu dalam meng-asuh dan membesarkan anak. Lebih-lebih peranan ibu dalam mendidik anak. Di Malaysia misalnya, mayoritas guru (SD – SMU) adalah perempuan.

Dalam konteks inilah, mengapa Umar ibnu Khattab, dalam kedudukan sebagai khalifah sekalipun, tidak berkomentar, membantah, apalagi marah ketika isterinya marah atau ngomel. Ketika ditanya salah seorang sahabat, mengapa Umar yang ter-kenal pemberani dan tegas, tidak berkutik di depan isteri? Dengan santai Umar menjawab: Bagaimana saya bisa memarahi isteriku? Dia yang memerhatikan dan mengurus penampilanku dalam menjalankan tugas sehari-hari sebagai khalifah. Dia yang mengurus makan minumku, mengasuh dan mendidik anak-anakku. Dia pula yang mengurus rumah dan hartaku ketika aku tidak ada di rumah.

Bagaimana dengan isteri yang sibuk menjadi wanita karier. Bahkan menyaingi lelaki untuk menjadi pejabat publik, mulai dari lurah, camat, bupati, walikota, gubernur, menteri, sampai presiden. Maknanya, perawatan integritas, lebih banyak diten-tukan perempuan yang berstatus ibu, di rumah, bukan di kantor. Bagaimana perawatan karakter atau integritas di kantor, perusahaan, parpol atau ormas.

Berkaitan dengan hal itu, Eileen Rachman dan Rayini (University of Queensland. Brisbane) dalam Edratna, mengatakan: “Jika training untuk soft competence begitu sulit, perlu dipikirkan membuat sistem manajemen dan budaya organisasi sedemikian rupa, sehingga tidak ada peluang bagi anggotanya untuk berperilaku “menyimpang”. Sistem yang terbuka, record yang lengkap, pertanggungjawaban yang jelas, reward and punishment yang tegas untuk perilaku kerja tertentu, akan dapat membantu terbentuknya “integrity in action” tersebut. Tumbuhnya sense of belonging dan komitmen yang tinggi terhadap organisasi juga kondusif dampaknya untuk mengurangi perilaku yang menyimpang. Kalau seseorang sudah merasakan bahwa organisasi tempat dia bekerja adalah bagian penting dari dirinya sendiri, maka dia tidak akan berperilaku merugikan bagi perusahaannya, karena berarti akan merugikan diri sendiri. Jadi situasi kerja demikian yang harus dibentuk, untuk meningkatkan integrity di tempat kerja, dibanding dengan pendidikan khusus tentang ini.

Dari pendapat di atas, maka perawatan integritas dapat dilakukan melalui:
a. Ciptakan suasana di mana saja agar orang terpicu untuk mengawasi diri sendiri. Olehnya, bertemanlah dengan tukang jual minyak wangi, jangan dengan pandai besi. Sebab, kalau pun tidak dapat memiliki minyak wangi, anda akan terkena baunya yang harum. Sebaliknya, berteman dengan pandai besi, bau besi yang kurang enak yang anda peroleh. Substansi hadis ini, jangan masuk orpol, ormas, LSM, perusahaan atau pekerjaan yang membuat anda berbau busuk.
b. Hindari tindakan yang membuat anda tidak berintegritas. Jika keadaannya abu-abu, tanyakan hati nurani. Sebab, hati nurani itu selalu hanif, cenderung ke kebenaran. Ketika berhadapan dengan yang syubhat, pesan Nabi, tinggalkan.
c. Pengawasan paling utama, di diri sendiri. Pastikan, makanan dan minuman yang dikomsumsi halal dan tayyibah. Sebab, orang yang mengkonsumsi sesuatu yang haram atau syubhat, 40 hari shalatnya tidak diterima. Khalifah Umar ibnu Kattab, setiap mau makan, menanyakan terlebih dahulu, darimana sumber makanan tersebut. Pengawasan utama yang kedua, pilih pasangan hidup sesuai pesan Nabi Muhammad, yaitu karena agamanya.
d. Pengawasan yang hanya ada di Islam yaitu selesai salam ketika solat, kita membaca: astaghfirullah al adzim. Inilah sistem evaluasi yang luar biasa, dila-kukan minimal 5 kali sehari. Dengan demikian, setiap kesalahan, di rumah, di kantor, di parpol, di ormas, setiap selesai shalat, kita minta ampun. Bukankah, korupsi, penyalahgunaan jabatan dan wewenang, penidasan, serta tindak kejahatan maupun amoral lainnya tidak akan berterusan kalau setiap orang mengawasi dirinya, minimal lima kali sehari melalui shalat?

Bagi mereka yang mau berintegritas tinggi, jangan lupa untuk senantiasa shalat lima waktu di masjid atau mushalla terdekat kemudian menghisab diri setiap sesudah salam. Jangan lupa untuk senantiasa senyum, di hati!!!

Dr. H. Abdullah Hehamahua, S.H., M.M. Penasehat KPK Periode 2005-2013.

Edunews.

Kirim Berita

Kirim berita ke email : [email protected][email protected]

ALAMAT

  • Jl. TB Simatupang, RT.6/RW.4, Jati Padang, Kec. Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540 Telepon : 021-740740  – 0817 40 4740

__________________________________

  • Graha Pena Lt 5 – Regus Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Makassar Sulawesi Selatan 90234 Telepon : 0411 366 2154 –  0811 416 7811

Copyright © 2016-2022 Edunews.ID

To Top
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com