News

HMI Transformatif: Pembaharuan Tata Kelola dan Penegasan Sikap HMI

Penulis

Oleh Moh. Rifaldi Hapili*

OPINI, EDUNEWS.ID – Menginjak usia 76 tahun, semakin banyak perubahan di organisasi kita, HMI. 

HMI yang terus berusaha eksis, dalam setiap periodenya, bukan hanya fokus pada kuantitas kader, namun kritik konstruktif hingga destruktif juga terus bergulir sebagai upaya mendewasakan himpunan, sekaligus mempertegas cita-cita HMI membina Insan Ulul Albab.

Manusia-manusia yang mengedepankan akal sehat, dalam melerai masalah, dan senantiasa tawadhu dalam menerima kritik dari berbagai kalangan.

Perubahan zaman menghadirkan fenomena serba cepat dalam menggembleng segala hal.

Proses pendidikan dan perbaikan karakter anak bangsa, tak luput dari fenomena ini. Sebuah proses cepat yang tidak dibarengi dengan penguatan kualitas, hanya akan menghasilkan manusia-manusia gila eksistensi yang serba instan.

Di era ini, proses pendidikan juga berjalan dengan cepat. Alhasil, manusia-manusia yang keluar dari praktik pendidikan formal, hanya menjadi manusia-manusia yang bermental kerupuk, tak tahan gempuran zaman, dan gampang menyerah. Sehingga sekali lagi, memilih jalur instan.

Tak heran, jika jurusan “orang dalam” menjadi minat yang menjamur di kepala generasi muda. Hilangnya etos belajar, dan optimisme masa depan, menjadi penyakit masa kini.

Jika ini dibiarkan, maka pemuda dipastikan akan berakhir tragis di panggung peradaban. Sungguh fakta yang akan membuat Presiden Soekarno merevisi kalimatnya, tentang 10 pemuda yang bisa mengguncang zaman.

Seluruh fenomena ini adalah karakteristik dari kapitalisme di era modern.

Jika dulu kapitalisme banyak berselingkuh dengan feodalisme dan imperialisme, kini kapitalisme bergerak dalam laju perputaran zaman. Kapitalisme mendorong terciptanya banyak produk, di tengah produsen yang sedikit. Misalnya, banyaknya sarjana di tengah sempitnya tenaga kerja.

Alhasil, disparitas tak bisa dihindari. Fluktuasi harga menjadi kebiasaan yang mendera bangsa ini. Gelompang produk, dimuntahkan ke para konsumen.

Jika generasi kini tidak lagi kritis melihat produk zaman, maka akan sangat mudah terjerumus dalam godaan keburukan, yang dikemas dalam canggihnya teknologi informasi.

Tantangan ini menjadi tugas besar HMI, sebagai organisasi mahasiswa Islam yang mengaku paling dewasa dalam dinamika kebangsaan.

HMI sebagai organisasi keumatan dan kebangsaan memiliki tugas perkaderan dan perjuangan dalam upaya menjawab tantangan zaman.

Namun sayangnya, di usia menjelang satu abad ini, HMI malah sering ikut tergerus dengan polarisasi zaman yang bercorak kapitalis birokrat.

Tak terhitung banyaknya produksi kader yang lahir dari basic training hingga menjadi sarjana, magister, doktor dan profesor, mengisi berbagai bidang di negeri ini, namun kering akan gagasan guna melahirkan perubahan besar atas terpuruknya kondisi kebangsaan saat ini.

Kelebihan ini, malah disalahgunakan oleh HMI. Para kader yang lahir dari proses instan dan jauh dari karakter Ulul Albab, malah memanfaatkan jejaring HMI untuk mencari penghidupan dan mengamankan posisi.

Fakta ini menunjukkan bahwa HMI terhegemoni dengan karakter kapitalisme, krisis ideologi dan menjamurnya karakter hedonis, menjadi masalah besar HMI masa kini.

*Kemunduran Perkaderan

Menjamurnya karakter hedonis merupakan bukti kemunduran perkaderan HMI. 

Lemahnya doktrin ideologis dan kultur organisasi, menjadikan HMI menghasilkan kader-kader hedonis dan cacat karakter.

Basic Training HMI kini terbilang instan demi menghindari kerumitan. Langkah ini adalah strategi HMI untuk bisa terus menggalang massa di tengah kondisi mahasiswa yang tergerus jiwa apatis.

Pada posisi ini, pendampingan setelah mengikuti Basic Training penting dilakukan. Namun, alih-alih mengalami kemajuan kualitas, kemunduran tampak jelas dalam eksistensi kader HMI, yang seringkali redup dan tenggelam dalam apatisme. 

Banyaknya masalah kebangsaan, tidak diikuti oleh sikap tegas kader HMI. Pun jika ada, malah sering hadir dalam ruang-ruang seremonial dan hampa gagasan otentik.

Fakta ini terlihat jelas dalam momentum nasional tertinggi di organisasi, misalnya Kongres HMI yang digelar dengan megah dan banyak menghabiskan dana umat, malah berakhir ricuh dalam hal-hal sepele.

Anehnya, perdebatan sengit malah terjadi dalam persoalan teknis. Bukan pada rekomendasi Kongres, yang menjadi wadah penampungan aspirasi dan gagasan besar, dalam menentukan arah gerak HMI kedepan sebagai tanggung jawab moral organisasi.

Para kader malah sibuk membangun konsolidasi politik praktis di warung kopi, apartemen hingga hotel-hotel megah, sembari menghabiskan dana umat yang disedekahkan negara.

Sekali lagi, tingkah laku korup seperti ini adalah imbas dari kemunduran perkaderan HMI.

*Transformasi Gerakan

Untuk itu, HMI harus melakukan evaluasi sekaligus pembenahan internal organisasi. Ratusan buku yang menumpuk di sekretariat organisasi, akan percuma jika hanya habis dalam ruang-ruang diskusi teoritis, dan cacat praksis.

Jutaan anggaran yang habis membiayai kegiatan, hanya akan menghasilkan organisasi yang modern secara tampilan, namun kuno secara pemikiran. 

Kultur perkaderan HMI yang kuat secara ideologis, harus kembali ditanamkan kepada seluruh kader.

Diskursus intelektual menjadi inti HMI dalam mengadakan kegiatan organisasi. Kader HMI harus dibiasakan dekat dengan wacana keilmuan secara militan. Sehingga nilai-nilai khittah perjuangan dan karakter insan ulil-albab, perlahan tertanam dengan kuat.

Hal ini bisa membuat kader HMI lahir dengan kualitas yang mumpuni. Para kader dan pengader yang lahir dari kondisi HMI seperti ini akan menjadi para cendekiawan, yang meskipun kecil secara kuantitas, namun besar secara kualitas.

Keberhasilan membenahi proses perkaderan HMI, akan mendorong kader berani menyatakan sikap atas kondisi kebangsaan.

Kader HMI akan siap mengambil peran strategis menuju tatanan masyarakat yang diridhoi Allah Swt. Tentunya dengan kultur perkaderan yang kuat, membiasakan kader melakukan diskursus intensif dalam persoalan Keislaman dan Keindonesiaan.

 *Intelektual Puritan

Saya teringat ulasan Kanda Sabara Nuruddin tentang dua wajah HMI yang sangat paradoks (Baca: HMI MPO: Ideologi dan Gerakan).

Di satu sisi, HMI menjadi organisasi yang secara normatif berdiri dalam naungan Islam secara kaffah. Sedangkan di sisi lain, HMI mewajibkan kadernya untuk berdaya secara intelektual independen sehingga dapat bebas berekspresi, sesuai kapasitas intelektualnya, tanpa bergantung pada pihak diluar dirinya sendiri.

Bahkan salah seorang Alumni HMI pernah berkata, “anak HMI ketika sudah turun demo. Tak ada yang bisa mencegah. Jangankan seniornya, tuhan saja tidak akan mereka dengarkan”.

Sebuah ucapan singkat yang dapat mengartikan makna independensi  kader HMI. Dua sisi HMI yang paradoks ini, ternyata bisa berjalan beringingan.

HMI selalu mempunyai dua bekal, yang harus terus dipertahankan. Bekal tersebut adalah esensi jiwa intelektual puritan, dan eksistensi nilai gerakannya.

Spirit intelektual puritan menjadi norma yang harus dipatuhi setiap kader. Sementara eksistensi menjadi tantangan HMI dalam mempraktikkan gagasan intelektualnya, yang seringkali tidak bisa tunduk dalam gagasan ortodoks dan fundamentalis.

Pembenahan proses perkaderan akan menguatkan kultur HMI sebagai organisasi berbasis gerakan intelektual puritan. Kemampuan ini menjadi esensi gerakan HMI, dalam memperjuangkan cita-citanya.

Sedangkan eksistensi gerakan, dibutuhkan daya cipta dan kreatifitas kader untuk bisa eksis dan diterima oleh zaman.

*Modernisasi Gerakan

Transformasi zaman kian menuntut HMI untuk terus berbenah dalam konsep perkaderan dan perjuangan. Pemahaman dan pemanfaatan teknologi harus dilakukan HMI dalam mempraktekan seluruh gagasan intelektualnya.

Implementasi gerakan dengan pemanfaatan teknologi dapat menambah nilai gerakan dan memudahkan HMI untuk lebih dekat dengan cita-citanya.

Kader HMI harus  tampil berani di media-media baru dan memberikan pencerahan lewat gagasan intelektualnya. HMI bisa menggalang dukungan massa, melalui media sosial dengan visualisasi yang modern.

Namun sayang, konsep pergerakan dengan mengoptimalkan teknologi, masih kurang dipahami oleh kader HMI. Ketidakmampuan membaca wacana kekinian, seringkali membuat HMI dipandang tidak kompatibel dengan perkembangan ilmu pengetahuan masa kini.

Tak jarang, pergerakan HMI sudah tidak mendapatkan atensi dari kalangan masyarakat. Sementara kadernya, masih terjebak dalam teori-teori rumit, yang tidak teruraikan dengan baik dalam gerakan.

HMI harus belajar mengoptimalkan teknologi modern, bukan malah lari dan mengutuknya hanya karena tidak mampu memahaminya dengan baik.

Diskursus teknologi harus mendapatkan ruang dalam setiap pergerakan HMI. Sehingga, kreativitas akan terasah dengan baik, dan HMI bisa terus memformulasikan gerakannya dengan baik pula.

Pada titik ini, kader HMI akan terbiasa dengan kerja-kerja organisasi modern, yang membuatnya bisa berdaya saing segi intelektual dan mandiri dalam finansial.

HMI tidak bisa lagi mengurung diri dengan diskusi teori-teori utopia yang melangit, namun tak mampu dibumikan dengan baik.

Gagasan transformasi HMI, mendorong setiap kader untuk kreatif dalam membaca perkembangan zaman, sekaligus memiliki daya cipta formulasi gerakan kedirian dan organisasi ke depan.

Terciptanya intelektual kreatif, dan borjuasi independen, menjadi bekal dalam mentransformasikan gagasan HMI di masa kini, yang cerdas, dan mandiri.

Moh. Rifaldi Hapili,  Ketua HMI Badko Sulutgo

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top