Opini

Keadaban Debat

Penulis

*Oleh Syafinuddin Al-Mandari

OPINI, EDUNEWS.ID – Ruang-ruang konstituante disesaki ketegangan. Perdebatan yang sangat keras terjadi antara para politisi di sidang lembaga penyusun konstitusi itu. Materinya sangat-sangat sensitif. Soal dasar negara! Mohammad Natsir, Kasimo, bahkan D. N. Aidit bergumul dalam adu konsep yang sangat tajam.

Tak ada yang dapat membayangkan bahwa usai ketegangan itu akan berakhir baik. Tak ada kursi yang melayang sebelumnya. Bahkan ketika sidang jeda ketiganya bersama mengobrol akrab di meja kantin. Natsir sesekali menggandeng tangan Kasimo, sebaliknya Kasimo merangkul bahu Natsir.

Mendiang Prof. Deliar Noer yang menceritakan dinamika politik Indonesia 1956-1959 menampakkan raut wajah sedih. Itu ketika beliau mencoba membandingkan suasana perdebatan politik masa itu dengan debat-debat politik di parlemen pada masa awal reformasi.

Kesedihan Prof. Deliar yang kerap dikemukakannya kalau menerima aktivis di kediamannya di bilangan Duren Sawit itu bukan tak beralasan. Dimensi perdebatan di konstituate sangat ideologis.

Pergesekannya bukan pada aspek yang gampang dikompromikan, namun pelaku-pelaku politiknya hanya membatasi perdebatan itu di dalam meja sidang sahaja. Tak ada “residu” sidang yang diungkap dengan bahasa sarkastis di luar sidang, apalagi dibawa ke media dalam ungkapan-ungkapan yang buruk.

Kompromi politik amat sering terjadi pada masa itu. Politik dijalankan secara rasional dan menjunjung tinggi kejujuran nalar dan argumentasi. Ada keberanian untuk menerima argumentasi politisi lain ketika seorang politisi memandang argumentasinya patut ditinjau kembali. Selera politik berkelas tinggi sangat tampak justru pada terma-terma ideologis yang sangat kental.

Memang saat itu tidak terlihat adanya koalisi politik untuk kepentingan kekuasaan, namun amat gampang menemukan suasana debat dengan diksi yang pantas dan menyejukkan.

Berbeda dengan situasi saat ini. Dimensi politiknya adalah kepentingan kekuasaan semata.

Koalisi politik bisa berganti setiap periode karena tergantung pada deal antar petinggi partai politik. Itu menjadi cerminan bahwa perbedaan yang mendasar dalam politik praktis di Indonesia bukanlah sesuatu yang sulit untuk dikemas dalam keadaban yang lebih tinggi.

Sayangnya, fakta politik Indonesia mutakhir memperlihatkan yang sebaliknya. 

Mereka berideologi kontras. Mohammad Natsir Partai Politik Islam Indonesia Majelis Syura Muslimin Indonesia (PPII Masyumi) memperjuangan Islam, Kasimo dari Partai Katolik Indonesia (Parkindo) memperjuangkan Pancasila, sedangkan  D.N. Aidit dari Partai Komunis Indonesia (PKI) memperjuangkan Komunisme sebagai dasar negara.

Debatnya tak diwarnai nada sarkastis yang menjatuhkan, gaya meremehkan, nada ketus, apalagi kekerasan verbal. Semua ditata dengan keadaban dialog yang amat tinggi.

Ada decak kagum dan perasaan bangga ketika mengetahui bahwa bangsa ini pernah memiliki politisi dengan keadaban berdebat kelas tinggi.

Tombol keadaban kita kian lama kian tak difungsikan. Karlina Supelli turut merisaukan fenomena ini. Ia mengutip sebuah penelitian terhadap 1600 responden tentang keadaban di media sosial.

Penelitian itu menemukan bahwa Indonesia menduduki kuartil terendah dalam keadaban di media sosial, yakni urutan 28 dari 32 negara. 

Karlina Supelli berpendapat bahwa temuan itu mungkin adalah gambaran tentang keadaban umum dalam kenyataan sosial dan politik di masyarakat Indonesia.

Tampaknya ini terkonfirmasi dengan fakta debat politik di gedung parlemen maupun di televisi atau radio. Debat paling aktual adalah debat calon presiden dan wakil presiden di Indonesia. 

Ada yang kurang menarik dan cukup mengganggu untuk suatu debat berkeadaban.

Kriteria debat beradab adalah melibatkan penggunaan bahasa yang sopan, argumen yang rasional, mendengarkan dengan seksama, menghormati pendapat lawan, dan menghindari serangan pribadi. Itu seharusnya!

Namun senyatanya, jauh berbeda. Politisi memilih untuk saling mempermalukan bahkan di luar ruang debat, bukan hanya dalam arena debat. 

Ada anggapan yang terbalik. Ketika saling mengoreksi pendapat atau memaparkan fakta yang mungkin memojokkan lawan debat seharusnya diapresiasi sebagai bagian dari pendewasaan demokrasi hadir dalam ruang debat, ada sementara politisi yang memandangnya sebagai keburukan.

Anehnya justru terlihat saat politisi itu memandang wajar lontaran diksi yang kasar di sembarang tempat hanya untuk mengekspresikan kekesalan yang tak tuntas di perlihatkan di arena debat. 

Himbauan etik pun diolok-olok dengan kekerasan verbal yang tidak pernah terjadi atau setidaknya tidak tercatat dalam lembar sejarah bangsa ini.

Padahal etika adalah cerminan dari sistem nilai yang hidup dalam suatu masyarakat, serta memiliki kekuatan ilmiah yang kokoh.

“Ethics is an order of behavior based on a system of values in a particular society, which is more appropriate to be associated with science or philosophy.” (Bonita Cinintya Putri, 2021).

Jika etik ditempatkan oleh para pelaku politik sebagai sesuatu yang tidak seberapa penting maka apakah mungkin keadaban dapat ditemukan dalam praktik kekuasaan maupun kontetasi menuju kekuasaan? Rasanya sangat tipis kemungkinannya. Itu karena keadaban jauh lebih mendasar.

“Civility thus seems to be a basic virtue of social life. Moral philosophers, however, do not typically mention civility in their catalogues or examples of virtue.” (Cheshire Calhoun, 2000).

Mungkin tipisnya penghargaan atas perkara etis itulah yang menjadi penyebab hilangnya seni berdialog ketika harus meyakinkan orang lain. Bukan sekadar kehilangan seni untuk meyakinkan orang tapi sekaligus kehilangan keadaban debat.

Sebenarnya ini dapat dicatat sebagai aba-aba bencana politik nasional sebab saban tahun pelaku-pelaku politik akan kehilangan keadabannya.

Bisa saja para politisi akan semakin tidak lagi sadar ruang. Politisi akan semaunya mengungkapkan perkataan yang hanya patut diperdengarkan di tempat tertentu, bukan di ruang terbuka. Bisa pula politisi tidak sadar waktu. Politisi tidak lagi memiliki kepedulian terhadap cara peling patut dalam penyampaian pendapat.

Tatkala perilaku politisi bangsa ini semakin mencapai tingkat yang rendah maka sangat sedikit kemungkinannya masyarakat dapat kembali menyaksikan citra politisi beradab model Natsir, Kasimo, Aidit. Apakah keadaban debat hanya dapat muncul ketika lembaga politik mengusung sebuah agama atau ideologi tertentu?

Rasanya bangsa ini tidak harus kembali kepada format politik masa lalu, melainkan perlu menumbuhkan keadaban debat.

Syafinuddin Al-Mandari, Pengajar Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top