Oleh: Mauliah Mulkin*
HORISON, EDUNEWS.ID – Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan spiritual yang terbuka—ketika orang-orang menghargai dan menghormati dimensi spiritual kehidupan—menemukan dorongan dan dukungan untuk mengembangkan mistisisme alami masa kanak-kanak. (Mimi Doe & Marsha Walch)
Kami dibesarkan di sebuah kota kecil, di ujung terjauh provinsi Sulawesi Selatan pada era 80-an. Hidup berbaur dengan warga asing dan pribumi. Bertetangga dengan orang-orang yang datang dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Saling menyapa, bermain, dan berkunjung ke rumah sahabat yang berbeda keyakinan. Membaca dari siang hingga menjelang malam di rumah teman yang beragama Katolik. Atau ngerumpi di kantin sekolah dengan teman Hindu yang ramah. Orangtua kami hidup rukun dalam ikatan keluarga besar warga. Sedikit pun tak pernah kami dengar gonjang-ganjing soal perbedaan-perbedaan yang menyelimuti sedari awal.
Hingga saatnya melanjutkan pendidikan ke ibu kota provinsi yang ramai, padat, dan sesekali egoistis. Jalan-jalan yang dipenuhi pengendara dan pengguna yang serba terburu-buru. Orang-orang sangat mudah meneriakkan sumpah serapah kala hati dilanda berang. Sampah dan kotoran pikiran diumbar dan dilempar ke ruang-ruang publik. Terlebih di era digital sebagaimana yang terlihat di hari-hari kini. Banyak yang kalap, hilang kendali, dan akhirnya menyesali diri.
Di mana anak-anak? Mereka ada di sini, di sekitar kita, bahkan mungkin duduk berdampingan dengan kita. Kegiatan sehari-hari mereka sama dengan kita. Apa yang kita lakukan mereka juga sudah lakukan. Berselancar di dunia maya, mereka pun begitu. Menulis status, berswafoto ria, saling melempar lelucon dengan teman, bahkan mengolok-olok orang lain menjadi hal biasa bagi mereka. Tanpa memahami apa yang mereka katakan dan lakukan. Kendali ada di tangan mereka. Lalu tiba-tiba saja anak-anak ini sudah tumbuh dan berkembang sendiri dalam dampingan teknologi dalam bentuknya yang liar. Obrolan dengan orangtua lebih banyak dilakukan lewat dunia maya. Anak-anak bertumbuh dalam dunianya sendiri di tengah arus informasi yang tak terbendung.
Kita adalah cermin bagi anak-anak kita dan menunjukkan contoh kepada mereka bagaimana spiritualitas dan kehidupan sehari-hari menyatu. Segala hal yang kita lakukan atau katakan, setiap kebiasaan yang kita miliki, nada suara kita, ekspresi kita, semua mengajarkan kepada anak-anak kita seperti apa dunia itu dan bagaimana mereka menyesuaikan diri di dalamnya. Apa yang mereka lihat dalam diri kita merupakan cermin dunia yang lebih besar. Apa yang mereka lihat dalam diri kita adalah cermin yang menunjukkan siapa mereka dan akan menjadi apa mereka. (10 Principles for Spiritual Parenting: Nurturing Your Child’s Soul).
Fenomena ini semakin menguat seiring tema-tema yang mencuat di tengah perbincangan antar kelompok dan individu. Orang-orang tidak lagi peduli pada etika dan dampak yang ditimbulkan dari pertentangan antar mereka. Bahasa-bahasa yang terlontar serta perilaku keseharian tak lagi dianggap penting untuk diperhatikan. Demi mencapai tujuan dan kepuasan diri, segalanya bebas mereka ekspresikan. Tanpa sadar sebuah potensi kerusakan menanti. Mereka telah menggiring sukma anak-anak menuju tebing kehancuran. Jika sudah begini, ke manakah mereka akan berguru soal karakter?
Mauliah Mulkin. Ibu Rumah Tangga. Pegiat Kelas Literasi Paradigma Ilmu.