Ahmad Sahide*
OPINI, EDUNEWS.ID-Bagi rakyat Turki, Recep Tayyip Erdogan adalah tokoh kuat dan sangat berpengaruh di kancah politik Turki dalam dua dekade tekhir. Adalah Erdogan yang mendirikan Adelet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau dikenal dengan Partai Keadilan dan Pembangunan pada tahun 2001. Di bawah kepemimpinan Erdogan, AKP berhasil menjadi partai penguasa dalam kancah politik Turki sejak 2002. Erdogan menjadi Presiden Turki sejak 2014 lalu, sebelumnya ia menjadi Perdana Menteri. Meski baru menjadi presiden sejak 2014, sosok Erdogan tetap dipandang oleh masyarakat Turki dan dunia yang mempunyai peran besar di balik kemajuan ekonomi Turki dalam kurun waktu hampir dua dekade.
Turki kemudian di bawah pemerintahan AKP dianggap berhasil membangun kekuatan ekonominya. Salah satu pemasukan besar Turki adalah dari sektor pariwisata. Letaknya yang strategis dengan satu negara dua benua (Eropa dan Asia) menjadi salah satu daya tarik tersendiri yang berhasil dikapitalisasi oleh Turki di bawah kepemimpinan Erdogan. Turki juga dianggap berhasil membangun demokrasinya yang bisa menjadi role model bagi negara-negara Islam di dunia. Turki dianggap sebagai negara yang berhasil menyandingkan Islam dan demokrasi. Tidak salah kemudian jika Turki menjadi salah satu negara yang dilihat bisa menjadi tempat belajar negara-negara Arab akan demokrasi setelah meledaknya Musim Semi Arab 2011 silam.
Erdogan kemudian melihat ada ruang yang terbuka lebar bagi Turki untuk memainkan peran yang lebih besar di Kawasan Timur Tengah di tengah rivalitas pengaruh antara Iran versus Arab Saudi. Kebangkitan ekonomi dan keberhasilan dalam membangun demokrasi dengan menyingkirkan militer adalah modal yang dibawa Erdogan untuk membuka jalan baginya menjadikan Turki lebih berpengaruh di Kawasan. Kebangkitan ekonomi dan keberhasilan dalam mengonsolidasikan demokrasi adalah materi yang bisa ‘diajarkan’ oleh Erdogan kepada negara-negara di Kawasan Timur Tengah sekaligus menancapkan pengaruhnya. Meski hal ini juga mulai menimbulkan pertanyaan seiring dengan semakin otoriternya Erdogan dalam memimpin Turki pasca-kudeta gagal pada 2016 dan inflasi yang menyebabkan krisis ekonomi Turki beberapa tahun terakhir.
Pergeseran Politik Luar Negeri Turki
Hal baru terlihat dari Turki di bawah rezim AKP adalah meningkatnya keinginan Turki untuk memainkan peran pihak ketiga dalam pengelolaan dan penyelesaian berbagai konflik regional, khususnya konflik Arab-Israel. Ini sangat kontras dengan kebijakan lama Turki untuk tidak terlibat dalam berbagai konflik regional (Altunışık, 2009).
Burhanettin Duran dari Ibn Haldun University, Turki, juga telah menulis artikel yang di dalamnya menganalisis pergeseran politik luar negeri Turki di Kawasan Timur Tengah yang menurutnya diawali dengan munculnya AKP sebagai partai pemenang pemilu pada 2002 dengan Recep Tayyip Erdogan sebagai tokoh kunci di baliknnya. Duran bahkan dengan tegas mengatakan bahwa sejak 2000-an awal, Turki mempunyai ambisi politik untuk menjadi negara paling penting di Kawasan Timur Tengah (Duran, 2021).
Ada dua alasan utama perubahan ini. Pertama, perubahan lingkungan geo-strategis dan meningkatnya ketidakstabilan di kawasan mulai berdampak pada Turki sehingga memaksa Ankara untuk lebih terlibat dalam pengelolaan konflik. Konflik yang berkepanjangan menyebabkan radikalisasi dan ancaman perang terus-menerus di wilayah tersebut. Berlanjutnya konflik Arab-Israel juga memungkinkan beberapa negara memanfaatkan konflik tersebut untuk meningkatkan kekuatan dan pengaruhnya di kawasan. Misalnya, konflik Palestina telah memungkinkan Iran untuk meningkatkan kekuatan dan pengaruhnya di luar lingkungan terdekatnya dan menjadikannya kekuatan Mediterania secara efektif. Perkembangan ini mengganggu keseimbangan kekuatan regional dan dengan demikian menjadi perhatian Turki. Kedua, pemerintah AKP saat ini sangat ingin memainkan peran pihak ketiga di wilayah tersebut. Pemerintah percaya bahwa karena ikatan historisnya dengan wilayah ini, Turki tidak bisa acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi di sana (Altunışık, 2009). Turki pernah menjadi salah satu pusat kejayaan dinasti Islam, yaitu Turki Usmani, setelah kejayaan Umayyah dan Abbasiyah berakhir.
Setelah The Arab Spring bergejolak sejak akhir 2010, di mana negara-negara Arab mencari cara dan bentuk demokratisasi, Turki menjadi salah satu contoh bagi negara-negara di kawasan tersebut untuk demokratisasi. Survei dari Arab Barometer Wave II (2011) menunjukkan bahwa masyarakat Timur Tengah percaya bahwa Turki adalah negara yang cukup demokratis dengan nilai rata-rata 6,4, dari skala 10 sebagai negara demokrasi semaksimal mungkin (Cehyun, 2018). Namun demikian, setelah percobaan kudeta yang gagal oleh Fetullah Gulem (sebagai tertuduh) pada 2016, Erdogan makin otoriter. Penulis teringat ketika berkunjung ke Istanbul pada 2018 silam di mana saat mencoba berbicara dengan mahasiswa asal Indonesia terkait dengan dinamika politik Turki di warung-warung makan, mahasiswa mengingatkan bahwa, di Turki, jika membahas kedua tokoh tersebut harus dengan nama inisial.
Di kawasan, Turki telah mengadopsi pendekatan pragmatis dalam mengelola hubungan internasionalnya: jika memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan suatu negara, Turki kemungkinan akan mendukung pemeliharaan pemerintahan status quo. Salah satu contoh untuk pendekatan semacam itu adalah Libya. Namun, jika tidak ada ikatan ekonomi yang kuat, Turki kemungkinan besar akan mendukung partai-partai yang menganut landasan Islam politik, seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia (Cehyun, 2018).
Oleh karena itu, dalam situasi dan isu tertentu, Turki bisa mempunyai hubungan yang baik dengan Arab Saudi, Mesir, Iran, dan negara-negara lainnya. Namun demikian, pada beberapa isu lainnya, hubungan Turki dengan negara-negara tersebut renggang. Turki adalah negara yang berani membela Qatar pada tahun 2016 lalu Ketika Arab Saudi dan negara-negara Teluk memblokade Qatar dan mengisolasinya di kancah politik kawasan. Sikap Turki tersebut jelas membuat hubungan Turki dengan Saudi renggang. Selain itu, Turki termasuk salah satu negara yang keras mendiskreditkan Muhammad Bin Salman, Pangeran Saudi, dalam kasus terbunuhnya Jamal Khashoggi, pada 2018 lalu di Istanbul. Namun demikian, belakangan Turki mulai lunak dan berupaya memperbaiki hubungan diplomatiknya dengan Saudi. Itulah peran politik yang dimainkan oleh Turki di kancah politik Timur Tengah pada era AKP dan Erdogan. Mencoba membangun kekuatan politik baru di tengah dominasi Iran versus Saudi.
Krisis Legitimasi Erdogan
Hasil pemilihan umum Turki pada 14 Mei 2023 ini menunjukkan bahwa AKP Bersama dengan Erdogan masih unggul 49,5 persen suara, unggul beberapa persen dari kandidat oposisi Kemal Killicdaroglu yang mengantongi 44,9 persen suara. Namun keunnggulan ini menunjukkan bahwa Erdogan mengalami krisis legitimasi politik di dalam negeri meski dia semakin otoriter pasca-kudeta gagal pada 2016 silam. Bahkan hasil survey sebelumnya memprediksi Erdogan akan kalah. Kemunduran demokrasi dan juga inflasi yang cukup tinggi pada 2022, yang berdampak pada lemahnya nilai tukar mata uang Turki (Lira), tentu menjadi salah satu faktor kekecewaan publik terhadap rezim politik yang dibangun oleh Erdogan.
Jualan Erdogan untuk menjadikan Turki memainkan peran lebih luas di kawasan adalah kebangkitan ekonomi dan juga demokrasinya. Akan tetapi jualan itu kini menjadi ‘barang yang tidak laku’ lagi bagi Turki. Erdogan dan AKP mengalami krisis legitimasi di dalam negeri. Sambutan pasar juga atas keunggulan Erdogan sangat negatif. Artinya bahwa senjata Erdogan untuk memainkan peran penting dan juga menyebarkan pengaruhnya di Kawasan Timur Tengah makin sulit ke depan. Ambisinya untuk Turki menjadi negara paling penting dan berpengaruh di Kawasan makin menemui jalan terjal. Apapun hasil dari pemilihan putaran kedua nantinya.
Yogyakarta, 18 Mei 2023.
Ahmad Sahide. Ketua Prodi Hubungan Internasional Program Magister, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
