Opini

Kelahiran Komunikasi Demagogi Baru di Indonesia

Arie Purnama. Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Lampung

Oleh : Arie Purnama*

OPINI, EDUNEWS.ID-Ketika mendengar kata Demagog (komunikator)/Demagodi (pesan) maka akan terbersit di kepala kita seorang pemimpin era perang dunia II; Hitler,Mussolini,Lenin,etc. secara terminology demagog berasal dari bahasa Yunani, demos berarti rakyat, agógos berarti pemimpin atau penghasut, maka demagog adalah pemimpin atau penghasut politik yang pandai membakar naluri massa atau golongan untuk meraih tujuan-tujuan tertentu.

Demagogi berarti perbuatan menghasut itu sendiri. Dalam ilmu komunikasi, demagogi merupakan sebuah bentuk komunikasi interpersonal baik massa, kelompok, ataupun golongan yang di dalam pesan nya berisikan hasutan,pembohongan public dengan mengkambing hitamkan seseorang atau kelompok tertentu sehingga pesan yang disampaikan oleh seorang demagog akan menimbulkan reaksi pergolakan, kebencian, permusuhan, dan rasa tidak percaya dalam masyarakat. Menurut KBBI demagogi adalah penghasutan terhadap orang banyak dengan kata-kata yang dusta untuk membangkitkan emosi rakyat.

Menurut Sejarawan Reinhard Luthin mendefinisikan demagog sebagai seorang politikus yang ahli dalam:

1.     Pidato, sanjungan dan makian

2.     Mengelak dalam membahas masalah-masalah penting

3.     menjanjikan segalanya kepada semua orang

4.     menarik minat daripada alasan public

5.     membangkitkan prasangka rasial, agama, dan kelas

Pemerintah berusaha mengeksploitasi kelemahan fundamental dalam demokrasi dikarenakan kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat, adalah mungkin bagi rakyat untuk memberikan kekuasaan itu kepada seseorang yang menarik denominator umum terendah dari sebagian besar populasi. Demagog biasanya menganjurkan tindakan segera dan tegas untuk mengatasi krisis sambil menuduh lawan yang moderat dan bijaksana atas kelemahan atau ketidaksetiaan. Jika terpilih menjadi pejabat eksekutif tinggi, para demagog biasanya mengurai batasan konstitusional atas kekuasaan eksekutif dan berusaha mengubah demokrasi mereka menjadi kediktatoran. Terkait tulisan ini kita melihat banyak sekali bentuk-bentuk dari demagogi yang dilontarkan oleh pemerintah.

Berangkat dari pemilihan Presiden di tahun 2014 terjadi pembelahan pandangan yang ada di Indonesia,pertama muncul istilah cebong dan kampret dimana saat itu terjadi pertarungan antara Prabowo subianto-Hatta Rajasa VS Joko Widodo-Jusuf Kalla yang akhirnya dimenangkan oleh Jokowi-JK. Kemudian pembelahan ini makin terasa setelah pemilihan kedua kali di tahun 2019 dimana Prabowo subianto-Sandiaga Uno VS Joko Widodo-Ma’ruf Amin dimana pembelahan oposisi dan koalisi makin meruncing. Kemengan Jokowi-Ma’ruf yang tidak terlalu jauh membuat tensi politik memanas dimana banyak pendukung Prabowo mulai memainkan isu-isu sara serta menginginkan deligitimasi kemenangan,hingga tensi itu mereda setelah Prabowo merubah Haluan menjadi bagian dari pemerintah dengan menjabat Mentri Pertahanan.

Dalam perjalanan nya pihak yang dahulu mendukung oposisi berduyun-duyun menjadi anggota koalisi sehingga banyak pendukung yang merasa kecewa terhadap keputusan tersebut,akan tetapi momen ini digunakan pemerintah untuk menciptakan kambing hitam baru dalam setiap kebijakan yang akan diambil. Untuk pihak yang tidak setuju dengan kebijakan akan dianggap bagian dari oposisi dan kelompok radikal.sebagai contoh saat timbul mural-mural yang menyuarakan aspirasi keluhan rakyat “404 Not found”,mural itu di ibaratkan rakyat bingung dalam penanganan Covid-19 oleh pemerintah dimana kebijakan yang diambil oleh pembantu-pembantu presiden seolah over-lap dan berubah dengan waktu yang cepat tanpa ada analisa mendalam terlebih dahulu,Presiden solah tidak mau tau dan ambil tau terkait kebijakan tersebut.

Baca Juga :   Narkoba di Lutim: Antara Penegakan Hukum atau Permainan Penegak Hukum

Makin banyak nya mural terkait keluhan rakyat,di bogor tertulis “TUHAN AKU LAPAR”,aparat pemerintah dengan segera menghapus dan memburu penulis mural. Dalam konteksnya mural tersebut tidak menyinggung pemerintah,akan tetapi ungkapan seseorang yang memang terkendala ekonomi terkait sulitnya mendapatkan penghasilan sehingga memohon kepada tuhan akan keluhannya.

Banyak jurubicara pemerintah yang mencari celah untuk menyudutkan pembuat mural,dari masalah izin,etika,moral dll sehingga terkesan pemerintah sangat anti kritik dan otoriter,dimana setiap pihak yang bersebrangan akan mendapatkan hukuman. Pemerintah juga menggunkan isu-isu ini dengan mengatakan timbulnya kelompok-kelompok radikal baru. Fenomena terbaru adalah terkait masalah ketersedian bahan pokok yaitu kelangkaan minyak goreng,miris memang dimana Indonesia dapat dikatakan sebagai negara besar penghasil CPO berbanding terbalik dengan langkanya minyak goreng.

Puncaknya saat Menteri Perdagangan diundang oleh DPR, beliau mengatakan bahwa fenomena ini disebabkan oleh mafia dan kartel. Dalam tugasnya sesuai dengan undang-undang pemerintah wajib menjaga stabiltas pangan untuk rakyatnya,akan tetapi narasi yang dibangun adalah ulah kartel dan mafia,dimana secara tidak langsung pemerintahan ini menunjukan kelemahan terhadap mafia dan kartel yang ingin mengambil keuntungan dengan cara yang tidak dibenarkan.

Pernyataan terbaru terkait pemerintah adalah dari seorang Ketua BPIP yang notabene harus memberikan pemahaman dalam penerapan Pancasila dan beliau juga menjabat Ketua umum PDIP. Kita ketahu bahwa PDIP merupakan partai pengusung presiden dan partai dengan elektabilitas tertinggi saat pemilihan umum,akan tetapi kenyataan nya berbanding terbalik, ungkapan yang keluar terkait polemik ini tidak mencerminkan penerapan Pancasila sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”,dimana beliau mengatakan “selain digoreng, ada banyak cara untuk membuat makanan. Bisa dengan direbus, dibakar, atau dikukus. “Apa tidak ada cara untuk merebus, lalu mengukus, atau seperti rujak, apa tidak ada? Itu menu Indonesia lho, lha kok njelimet (rumit) gitu,” tuturnya, dikutip dari Kompas.com. Dari ujaran ini muncul kesan dimasyarakat yang mana PDIP sudah bukan lagi “Partai Wong Cilik” selama menjadi penguasa,padahal sebelumnya sebelum berkuasa PDIP aktif dalam menyurakan keluhan rakyat,terkait kenaikan BBM,kelangkaan sembako,bahkan dalam pernyataan publiknya sampai menangis untuk menykapi kebijakan pemerintah. Apakah memang telah lahir komunikasi demagogi baru di Indonesia?silahkan simpulkan dari opini ini.

 

Arie Purnama. Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Lampung

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Edunews.

Kirim Berita

Kirim berita ke email : [email protected][email protected]

ALAMAT

  • Jl. TB Simatupang, RT.6/RW.4, Jati Padang, Kec. Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540 Telepon : 021-740740  – 0817 40 4740

__________________________________

  • Graha Pena Lt 5 – Regus Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Makassar Sulawesi Selatan 90234 Telepon : 0411 366 2154 –  0811 416 7811

Copyright © 2016-2022 Edunews.ID

To Top
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com