Oleh : Syafinuddin Al-Mandari*
OPINI, EDUNEWS.ID-Socrates maju ke serambi Kriton. Tempat itulah yang ditunjuk Dewan Pemerintahan Demokratis Kota Athena, Yunani, untuk menjadi panggung eksekusi mati atas dirinya. Socrates harus menenggak hemlock, minuman yang mematikan. Sang Filsuf itu dipersalahkan menurut hukum yang berlaku di Athena.
Ia wafat 15 Februari 399 SM setelah dieksekusi karena tuduhan menghasut pemuda dengan pemikiran barunya. Pemikirannya dipandang bertentangan dengan norma-norma Kota Athena.
Peristiwa itu sudah lama namun getarannya terus terasa di seluruh gelombang generasi yang pernah datang di semua bangsa setelahnya. Zaman demi zaman seperti menyimpan ketidakpuasan. Kelas-kelas akademik pun mengulasnya sebagai sebuah fenomena tragis dalam urusan keadilan publik.
Kitab Phaedo karya Plato menceritakan dengan amat dramatis tentang pertentangan kekuasaan dan pencari keadilan. Negara selalu merasa cukup setelah memenuhi prosedur hukum meski rakyat selalu menuntut keadilan dibalik penegakan hukum itu. Kelak Lawrence Meir Friedman (1975) menguraikan bahwa substansi hukum (legal substancy), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture) dihadirkan untuk kepentingan terpenuhinya rasa keadilan itu.
Substansi hukum selalu menyangkut tuntutan pemenuhan rasa keadilan publik. Berbeda dengan struktur hukum yang menyangkut produk dan prosedur peraturan yang akan mendukung penegakan keadilan itu. Semua itu akan membentuk sebuah tatanan kehidupan yang warganya taat dan sadar hukum. Semuanya demi pemenuhan rasa keadilan publik.
Athena sudah menegakkan hukum. Kalau dibaca dalam sudut prosedurnya maka mungkin tidak ada yang patut dipersoalkan. Berbeda ketika yang hendak dicapai adalah terpenuhinya rasa keadilan dalam masyarakat.
Konteks inilah yang tampaknya mendorong Anies Baswedan mengangkat kembali filosofi hukum itu. Rasanya ada persoalan yang memang pantas diunggah ke muka publik dalam berbagai fenomena hukum akhir-akhir ini. Itu terungkap ketika terjadi dialog dalam Debat Perdana Capres 2024 yang digelar KPU pekan lalu.
Bukan mengenai semata penegakan hukum melainkan tercapainya rasa adil. Inilah yang coba digali Anies Baswedan. Bukan waktunya lagi publik diberi gula-gula penegakan hukum. Publik diminta puas karena sudah ada proses pengadilan. Sudah ada yang divonis bersalah dan menjalani hukuman. Namun ketika berbagai pihak masih beriak tanda belum puas, berarti keadilan belum mengalir ke dalam sum-sum publik.
Gugatan Anies Baswedan itu beralasan. Negara ini tak pernah bersih dari perkara yang mengusik rasa keadilan masyarakat. Buramnya pembantaian orang yang diduga terlibat PKI (1965-1966), kasus-kasus pembunuhan dan penghilangan orang sepanjang pemerintahan Orde Baru (1967-1998) termasuk penculikan aktivis, pembunuhan aktivis HAM, Munir, (2004), hingga peristiwa Kanjuruhan (2021) dan Kilometer 50 tersebut (2022), kelak akan menjadi beban sejarah.
Pelaku dan penanggung jawab utama peristiwa itu selalu tidak jelas secara tuntas. Korban pun hanya mendapat kompensasi seadanya.
Komitmen terhadap prinsip negara hukum, bukan negara kekuasaan juga akhirnya kembali dapat dipersoalkan. Rasa tidak percaya (distrust) bisa muncul dan akan menjadi bagian yang dapat memperlemah negara. Semua itu karena negara tidak memberi rasa adil.
Rasa keadilan lebih daripada sekadar terpenuhinya tuntutan orang yang tidak puas. Begitu juga bukan hanya sekadar berjalannya proses hukum yang berhasil menyeret dan menghukum orang tertentu.
Lebih luas daripada itu, keadilan tidaklah hanya menentukan orang yang dipersalahkan melainkan memberi kejelasan tentang setiap perkara secara tuntas dan diterima akal sehat masyarakat luas.
Hukum dibuat untuk memenuhi rasa keadilan publik. Tanpa itu, hukum menjadi selongsong belaka. Saat itulah hukum dengan muatan rasa adil masyarakat dapat mencerahkan dan mendidik publik.
“Keadilan harusnya mencakup membantu, atau mendidik, baik teman maupun musuh kita.”Donald J. Robertson (2017)
Negara ada untuk menjamin rasa adil itu. Pemerintah diberi kewenangan untuk menjalankan hukum dengan sebaik-baiknya demi memberi rasa adil. Presiden harus memimpin negara dengan komitmen tinggi untuk memberi rasa adil itu.
Syafinuddin Al-Mandari, Peneliti Rumah Restorasi Indonesia/Pemimpin Redaksi Majalah Syiar
