Opini

Menyoal Konstitusionalitas Jokowi sebagai Cawapres 2024

Rizki Rahayu Fitri

Oleh: Rizki Rahayu Fitri*

OPINI, EDUNEWS.ID-Republik ini selalu dihebohkan dengan wacana dan suguhan berita yang  kurang subtantif, namun laris dikonsumsi oleh publik. Salah satu  isu dan wacana yang kembali mewarnai pemberitaan tanah air adalah wacana dan isu Presiden Jokowi yang didorong menjadi calon Wakil Presiden 2024 mendatang. Isu mengemuka, setelah beberap waktu lalu, menteri segala menteri Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang dikenal sebagai menteri yang  sering menuai polemik pro dan kontra di kalangan masyarakat, mewacanakan  Presiden 3. Jika kita amati sistem konstitusi kita, sudah secara tegas tercantum  dalam Pasal 7 UUD NRI 1945, yang berbunyi Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Wacana Jokowi sebagai Cawapres 2024 jika diperhadapkan dengan konstitusi, mestinya konstitusi itu dipahami secara sistematis bukan saja secara gamblang. Dari segi etika dan hirarkis struktural presiden tidak akan turun menjadi wakil dan secara hukum juga sudah dijegal oleh konstitusi.  Selanjutnya melihat Pasal 8 ayat (1) berbunyi ; Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wapres sampai habis masa jabatannya.  Tentu kita tidak boleh memaksakan logika yang terbalik untuk mengharuskan mantan Presiden 2 periode yang telah diatur oleh konstitusi, harus mencalonkan sebagai wakil presiden di periode mendatang. Jika Jokowi jadi Wapres 2024, maka Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 tidak akan dapat dilaksanakan karena akan bertentangan dengan Pasal 7. Makanya tidak ada tafsir lain yang mungkin, kecuali bahwa Jokowi tidak memenuhi syarat untuk menjadi Cawapres dalam pilpres 2024 nanti. Pun jika harus dipaksakan untuk memuluskan hak dalam berkuasa, itu berarti bahwa konstitusi harus diamandemen untuk mengatur beberapa poin terkait pencalonan mantan presiden yang telah terpilih selama dua periode, dapat kembali mengajukan diri namun sebagai calon wakil presiden.

Logika kita memang agak terusik dengan  keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut presiden yang telah terpilih dua periode masa jabatan boleh mencalonkan kembali sebagai calon wakil presiden dalam pemilu. UUD 1945 tidak secara eksplisit mengatur larangan presiden dua periode tidak boleh maju sebagai calon wakil presiden. Namun, saya menilai MK hanya sebagai ranah pengadilan uji materil, selama amandemen konstitusi dari 2002 hingga saat ini tidak ada persoalan terhadap bunyi Pasal 7 UUD NRI, Sekarang MK malah memulai tafsir-tafsir yang tidak subtantif, walaupun statemen yang dikeluarkan oleh MK terlepas dari fungsi dan kewenangan, namun masyarakat yang membaca berita dan mendengarkan berita sudah cerdas. Meskipun pada akhirnya MK memberikan klarifikasi soal pernyataan presiden 2 periode bisa menjadi calon wakil presiden (cawpares) yang ramai di media massa, yang mengungkapkan jika  pernyataan itu adalah pernyataan pribadi Jubir MK Fajar Laksono, bukan sikap resmi lembaga/putusan MK.

Sebagai  orang yang memahami dan mempelajari hukum tata negara, sudah seharusnya kita menggunakan konstitusi sesuai arah dan tujuannya, bukan justeru mempermainkan konstitusi di Republik ini, sehingga semua hal dipermudah untuk mencapai tujuan. Jikalau ingin memainkan ritme kekuasaan dengan menggunakan dalih konstitusi seharusnya amandemen UUD NRI Ke-V sudah bisa dimulai, barulah tentu kita bisa mengamati didalam amandemen tersebut siapa yang paling banyak memperebutkan kekuasaan apakah MPR atau Presiden?.  MPR,  Sedari reformasi sudah ingin dikembalikan kedudukan tertingginya menjadi Lembaga tertinggi seperti masa orba, dan saat ini apakah presidensial masih kurang sehingga tidak cukup 2 periode menjalankan pemerintahan dan ingin kembali mengambil kursi panas orang nomor 2 di republik ini?.

Baca Juga :   Narkoba di Lutim: Antara Penegakan Hukum atau Permainan Penegak Hukum

Berbicara konstitusi bahwa konstitusionalitas adalah sesuatu yang bersangkutan dengan, sesuai, atau dapat diatur oleh sebuah konstitusi di suatu Negara. Lebih tepatnya sesuatu yang kekuatannya diatur oleh Negara dan disetujui oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Contoh dari konstitusionalitas adalah Pengujian UU disebut sebagai pengujian konstitusionalitas karena menggunakan konstitusi sebagai batu ujinya. Norma UUD 1945 diposisikan sebagai ”norma perintah”, sementara norma UU diposisikan sebagai ”norma pelaksana”. Sebagai norma pelaksana maka UU harus bersifat lebih teknis dan lebih sempit cakupannya.

Jadi untuk memakasakan seorang yang telah dua periode menjadi presiden untuk kembali mencalonkan menjadi seorang Cawapres tentu harus dibuat norma-nya dan peraturan pelaksananya sehingga tidak mengorbankan aturan main, jikalau seperti ini bisa siapa saja menyalah-tafsirkan konstitusi, yang pada akhirnya melahirkan demokrasi Indonesia yang tidak sehat. Garis kepemimpinan juga tidak akan berubah karena ruang lingkup hanya diisi oleh orang-orang lama sehingga menjadikan negara monarki, kepemimpinan hanya diteruskan oleh garis keturunan.

Secara garis konstitusi harusnya mengikuti alur Politik Hukum Ketatanegaraan, alur politik tersebut hanya terdapat dalam sebuah UUD NRI Tahun 1945, UU, Perpu, PP dan lain-lainnya. Dalam mengeluarkan politik ketatanegaraan melalui produk hukum maka yang berwenang ialah Presiden, MPR, DPR dan DPD. Kendati demikian politik hukum sebagai arah haluan ketatanegaraan maupun bentuk pembangunan nasional maka wajib tunduk terhadap Pancasila dan UUD NRI 1945 selaku statsfundamental norm dan Norm Gezset. Bukan berarti menjadikan kita sudah berkuasa bisa melalui tahapan-tahapan yang sudah dijelaskan diatas.

Ini menjadi refleksi bagi kita untuk mematuhi sebuah aturan tertulis di negara hukum, maupun juga secara konvensi ketatanegaraan, agar tidak semua kedudukan yang seharusnya diberikan ke orang yang lebih berkompeten dan juga untuk melanjutkan regenerasi anak bangsa. Tentu Indonesia harus melahirkan arah baru dengan orang yang baru juga sebagai modal utama yang harus didukung untuk mencapai Indonesia EMAS 2045 maupun bonus demografi di tengah maraknya disrupsi.

Jika melihat arah kebijakan dalam politik hukum, konstitusi sebagai garis resmi kebijakan, maka dalam pembentukan sebuah Peraturan TAP MPR maupun peraturan perundang-undangan maka digunakan asas ketatanegaraan sebagai pondasi lahirnya sebuah kebijakan dan harus menggunakan sebuah asas yaitu, asas kedaulatan rakyat. Sebab, yang akan di pimpin oleh presiden dan wakil presiden ialah rakyat, serta rakyat juga yang akan memilih siapa yang di anggap akan mampu menjalankan roda pemerintahan selama lima tahun kedepan melalui pemilihan umum.

Sehingga, tentu kita mesti memahami secara bersama-sama, dari aspek hukum, wewenang pemerintahan itu berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, ini berarti kita bisa menyimpulkan jika wacana dan rencana Jokowi sebagai Cawapres 2024 tidak konstitusional karena sudah di jegal dalam Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (1).  Semoga kita semua bisa jadi negarawan yang taat terhadap aturan dan konstitusi kita.

Rizki Rahayu Fitri. Tenaga Ahli Anggota DPR RI 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Edunews.

Kirim Berita

Kirim berita ke email : [email protected][email protected]

ALAMAT

  • Jl. TB Simatupang, RT.6/RW.4, Jati Padang, Kec. Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540 Telepon : 021-740740  – 0817 40 4740

__________________________________

  • Graha Pena Lt 5 – Regus Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Makassar Sulawesi Selatan 90234 Telepon : 0411 366 2154 –  0811 416 7811

Copyright © 2016-2022 Edunews.ID

To Top
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com