Oleh: Sri Wahyuningsi*
OPINI, EDUNEWS.ID – Perempuan masih saja didiskriminasi karena budaya patriarki, perilaku subordinasi, dan pengaruh dari kapitalis. Bentuk permasalahan perempuan, ketika kita berkaca pada realitas sekarang dimana patriarki telah membaluti kehidupan sosial budaya masyarakat, khususnya Indonesia, budaya ini telah mengakar dan menjadi persoalan yang mendasar di masyarakat.
Budaya yang tidak menyetarakan perempuan ini menjadi akar diskriminasi kaum hawa dalam berbagai bentuk yang menimbulkan adanya kontrol sosial masyarakat yang mengikat, mengkungkung, dan tidak memberi ruang kebebasan dari diri perempuan itu sendiri, termasuk kontrol dalam berperilaku dan juga berpakaian.
Budaya patriarki kemudian menimbulkan respon miring masyarakat, bahwasannya ketika perempuan pulang larut malam tanpa peduli dari mana si perempuan ini dan apa yang dilakukan sampai larut malam, kesimpulannya dinilai sebagai perempuan yang kurang baik. Dengan tolak ukur karena hanya kaum laki laki yang berkeluyuran di malam hari. Sedangkan perempuan haruslah di rumah.
Perilaku subordinasi masyarakat yang menomorduakan perempuan salahsatunya di sektor pemerintahan, kepemimpinan perempuan dalam menduduki jabatan pemerintah masihlah sangat minim, sikap pesimis masyarakat yang mempertanyakan kualitas perempuan dalam kapasitasnya. Sehingga yang terjadi adalah dalam ranah politik kaum hawa sangat masih minor, atau dari segmen lain dimana upah buruh kaum adam dan hawa yang tak berimbang, meski dalam pekerjaan yang setara. Anggapan bahwa perempuan mahluk lemah, yang kepentingannya bukan suatu prioritas.
Kapitalisme yang melebur di masyarakat kemudian membentuk adanya sikap penguasa yang semena-mena terhadap kelas bawah, sebut saja beberapa kasus penguasa yang melakukan tindakan asusila yang melecehkan dan menyakiti, bahkan membunuh kaum hawa.
Menurut CATAHU Komnas Perempuan 2016 bahwa korban kekerasan seksual terus bertambah, dan kasus kekerasan seksual naik menjadi peringkat kedua dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap peremuan. Dan bentuk kekerasan seksual tertinggi pada ranah personal adalah perkosaan sebanyak 72% atau 2.399 kasus, pencabulan 18% atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5% atau 166 kasus.
Dengan bertambahnya kasus ini menandakan banyaknya korban dikarenakan kasus ini dan sampai saat ini perempuan masih dipandang sebagai objek seksual, yang mana hal tersebut tidak boleh dianggap tabu dan harus diberi ketegasan, guna terciptanya rasa aman bagi kaum hawa, bukan kecaman yang terus terus melanda beban pikiran, menimbulkan rasa takut, trauma, dan segala bentuk ketidakbebasan pikiran.
Perempuan baik mereka yang menjadi korban atau tidak haruslah dibina sebaik mungkin, berjuang, mengubah pandangan masyarakat, menuju perempuan yang bermartabat.
Sri Wahyuningsi. Mahasiswa Jurnalistik Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.