Oleh: Mohammad Syifa A. Widigdo, Ph.D*
CAKRAWALA, EDUNEWS.ID – Kemenangan Donald Trump dalam Pemilu Presiden Amerika 8 November lalu bukan saja bermakna bagi Trump secara pribadi, tapi juga untuk sebuah ideologi dan operasi politik yang menggerakkan di belakangnya. Trump yang secara konsisten menggunakan isu-isu populis dan kontroversial merupakan sebuah representasi dari ideologi politik yang awalnya dipandang sebelah mata tapi kemudian mengejutkan. Dia adalah represantasi dari ideologi politik kanan ekstrim yang anti-kemapanan (anti-establishment) dengan sentimen kebencian terhadap kelompok-kelompok minoritas dan pinggiran.
Meskipun awalnya diperkirakan bahwa Trump hanya akan menggunakan retorika anti-imigran, anti-Muslim, dan anti-kemapanan tersebut pada saat kampanye saja, namun penunjukan beberapa orang kepercayaan di dalam administrasinya mengisyaratkan hal lain. Misalnya, penunjukan Steve Bannon sebagai chief strategist dan Frank Gaffney sebagai anggota tim transisi pemerintahan Trump.
Penunjukan tersebut menegaskan bahwa Trump serius akan mengeksekusi agenda-agenda kontroversialnya, seperti pembangunan dinding di wilayah perbatasan, pengusiran imigran gelap, pelarangan Muslim masuk ke Amerika, serta pelarangan penggunaan alat kontrasepsi bagi perempuan. Sebab, Bannon selama ini dikenal sebagai pemikir dan ahli strategi kaum ultra konservatif dengan ideologi supremasi kulit putih (white supremacist) yang dinilai rasis, xenofobik, dan anti-kemapanan. Sementara itu, Gaffney merupakan pakar keamanan yang percaya adanya konspirasi Muslim untuk menghancurkan Amerika dari dalam.
Untuk itu saya tidak melihat Trump bukan sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah visi dan ideologi politik yang menggunakan populisme, anti-kemapanan, dan sentimen kebencian terhadap agama dan ras yang minoritas atau pinggiran. Inilah yang saya sebut sebagai Trumpisme.
Meskipun di tanah air banyak yang kecewa, khawatir, dan bahkan marah dengan terpilihnya Trump sebagai Presiden Amerika karena kebijakan anti-Islamnya, namun tidak sedikit pula yang sebenarnya mengidap virus dan penyakit Trumpisme di dalam diri mereka. Sebab, gejala Trumpisme tidaklah unik di Amerika, tapi juga bisa terjadi di rumah kita sendiri, Indonesia.
Donald Trump memosisikan dirinya sebagai orang luar (outsider) yang masuk ke arena politik untuk melakukan perubahan. Dia mengeksploitasi kekecewaan dan ketakutan sebagian warga Amerika, terutama kaum konservatif, dengan janji-janji kampanye yang dibayangkan dapat menyalurkan dan mengatasi rasa kecewa dan takut tersebut. Di antaranya adalah janji untuk membawa lapangan pekerjaan kembali ke Amerika, mengubah wajah politik yang selama ini dikuasai lingkaran elit partai, dan melancarkan politik luar negeri yang menegaskan kekecualian Amerika (American exceptionalism).
Gerakan politik yang memanfaatkan kekecewaan dan ketakutan publik belakangan tampaknya juga terjadi di Indonesia. Hal ini terjadi terutama di kalangan sebagian umat Islam. Misalnya, dalam konteks pilkada DKI Jakarta, sebagian umat Islam di satu sisi kecewa terhadap partai-partai politik (Islam) yang tidak mencalonkan tokoh ideal yang mewakili aspirasi mereka. Sebut saja tokoh tersebut adalah Yusril Ihza Mahendra yang pencalonannya terganjal di saat-saat akhir menjelang pendaftaran ke KPU. Di sisi lain, mereka juga takut apabila Basuki Tjahaya Purnama yang secara politik didukung oleh partai-partai sekuler akan menjadi gubernur lagi.
Ketakutan tersebut sebagian karena faktor teologis, yakni bahwa mereka tidak dapat menerima dipimpin oleh gubernur non-Muslim. Selain itu, ada juga faktor politis dan ekonomis yang melatari ketakutan tersebut. Mereka tampaknya takut jika etnis Cina yang selama ini telah menguasai sumber-sumber ekonomi di Jakarta (bahkan Indonesia) juga mendapatkan kekuasaan politik. Jika itu terjadi, kalangan etnis non-Cina yang secara jumlah mayoritas akan terpinggirkan dan kehilangan akses terhadap sumber-sumber ekonomi maupun politik.
Gerakan Aksi Damai 4 November yang dipelopori FPI beberapa waktu lalu merupakan salah satu wujud dari gerakan anti-kemapanan yang memanfaatkan kekecewaan dan ketakutan publik Muslim tersebut. Saluran-saluran politik normal, seperti partai politik, DPRD, pemerintah, hingga lembaga yudikatif seperti KPK, dirasa tidak dapat menyalurkan aspirasi mereka, apalagi mengobati keresahan mereka. Yang terjadi justru lembaga-lembaga formal tersebut tumpul saat menangani kasus-kasus yang diduga melibatkan Gubernur Basuki, dari kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras, reklamasi, hingga kasus dugaan penistaan agama.
Organisasi dan gerakan Islam yang memelopori aksi 4 November di luar dugaan mampu menggerakkan banyak elemen masyarakat untuk satu tujuan, yakni menghukum Gubernur Basuki atau Ahok atas dugaan penistaan agama. Kemampuan mereka melampaui partai-partai politik dalam hal mengumpulkan massa. Ditambahi dengan pesan-pesan populis seperti “penjarakan penista agama,” “haram bagi kami dipimpin orang kafir,” “aksi bela agama,” dan “Ahok didukung Sembilan Naga,” mereka berpotensi untuk mengguncang kemapanan partai-partai politik yang berkuasa saat ini.
Sebagaimana Trump dan gerakan konservatif radikal yang berada di belakangnya, Gerakan 4 November jika dikelola dengan baik juga bisa berkembang menjadi gerakan anti-kemapanan. Mereka bisa memanfaatkan rasa kecewa dan takut publik untuk mencapai tujuan sosial maupun politik. Salah satu caranya adalah dengan mentransformasikan rasa kecewa dan takut masyarakat tersebut menjadi sebuah gerakan politik yang beroperasi di wilayah kontestasi politik kekuasaan dan bukan sekedar gerakan anti-kemapanan jalanan.
Sebenarnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan selama gerakan tersebut masih dalam koridor demokrasi, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, dan tidak memicu sentimen kebencian terhadap kelompok minoritas dan terpinggirkan. Namun demikian, sayangnya, yang seringkali terjadi dalam kontestasi politik justru sebaliknya. Kekecewaan dan ketakutan publik dalam kontestasi politik acapkali dilampiaskan dalam bentuk ujaran-ujaran kebencian terhadap kelompok lain. Dari ujaran kebencian tersebut, tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas dan marjinal kemudian terjadi. Inilah sebenarnya yang merendahkan kualitas keadaban demokrasi dan perlu dicegah agar tidak terjadi di Indonesia.
Gaya berkampanye Donald Trump di Amerika yang acap dipenuhi dengan ucapan kebencian dan kekerasan terhadap kelompok lain, terutama komunitas Muslim, Hispanik, dan Afro-Amerika merupakan contoh yang buruk. Dia menyebut para imigran dari Amerika Latin sebagai kriminal, pemerkosa, dan pedagang narkoba. Orang Islam dianggap berbahaya dan karena itu dilarang masuk ke Amerika (kecuali setelah menjalani pemeriksaan yang ketat). Orang hitam (Afro-American) dicapnya sebagai pemalas dan identik dengan pelaku aksi kejahatan. Akibatnya, setelah dia terpilih sebagai presiden, aksi kekerasan verbal maupun fisik terhadap kelompok-kelompok tersebut belakangan meningkat dan makin vulgar.
Sayangnya, meskipun banyak orang Indonesia yang tidak menyukai gaya dan ideologi politik Donald Trump, namun sebagian mereka malah mempraktikkan gaya berkomunikasi dan berkampanye ala Trump yang sarat dengan kebencian dan toleransi terhadap kekerasan. Mereka mengadopsi dan mempraktikkan Trumpisme di rumah sendiri, Indonesia.
Seharusnya, Trumpisme politik yang menebar kebencian dan aroma kekerasan terhadap kelompok dan agama lain seperti itu tidak mendapat tempat di Indonesia. Dengan begitu, demokrasi Indonesia akan sukses dan dapat menjadi contoh bagi negara lain. Sebab, menurut Amartya Sen dalam The Idea of Justice (2009), kesuksesan demokrasi tidak hanya ditentukan oleh keberadaan struktur institusi demokrasi yang sempurna, tapi juga di antaranya tergantung pada pola perilaku manusia yang menjalankannya (hal. 354).
Dalam konteks ini, jika kita sebagai rakyat Indonesia dapat mempraktikkan keadaban perilaku politik yang tidak menolerir ujaran kebencian dan kekerasan, niscaya kita akan menunjukkan kepada dunia bahwa demokrasi Indonesia lebih baik dari negara manapun. Tak terkecuali dibanding Amerika, yang ternyata masih memberikan tempat dan bahkan memenangkan Donald Trump yang orientasi politiknya berbasis superioritas ras, kebencian terhadap kelompok minoritas, dan intoleran terhadap agama lain, terutama Islam.
Mohammad Syifa A. Widigdo, PhD. Pengajar di Universitas Paramadina. Alumnus Indiana University, Bloomington, IN, Amerika Serikat.
