JAKARTA, EDUNEWS.ID-Dana Moneter Internasional (IMF) mengisyaratkan ekonomi global tahun ini buruk. Ironisnya, risiko semakin menumpuk dan membuat perekonomian tahun depan semakin parah.
Dalam laporan yang dirilis, Selasa (26/7), seperti dilansir CNN Business, IMF kembali menurunkan proyeksi mereka dengan perlambatan besar terutama di tiga ekonomi besar dunia, yakni Amerika, China, dan Uni Eropa.
Penurunan proyeksi ekonomi global terjadi karena kombinasi perang Rusia-Ukraina, lonjakan inflasi, dan kebijakan pengetatan moneter lewat kenaikan suku bunga bank-bank sentral.
Perkiraan IMF, ekonomi global hanya tumbuh 3,2 persen pada tahun ini atau turun nyaris separuh dari 6,1 persen pada 2021 lalu.
Yang paling mengenaskan, perkiraan tahun lebih buruk lagi. Yaitu, hanya 2,9 persen, sedikit di atas 2,5 persen, angka pertumbuhan ekonomi yang dinilai IMF sebagai jebakan resesi.
Menurut IMF, proyeksi ekonomi tersebut sudah mengasumsikan dampak Rusia yang mematikan aliran gas ke Eropa, yang akan membuat inflasi lompat lebih tinggi.
Dengan skenario itu, IMF hampir dapat memastikan resesi ekonomi resmi akan terjadi pada tahun depan dan kemungkinan pertumbuhan ekonomi global jatuh lebih jauh lagi jadi hanya 2 persen.
“Tingkat pertumbuhan itu hanya terjadi sejak 1970 silam,” tulis IMF dalam laporannya.
Sebelumnya, IMF telah menurunkan proyeksi ekonomi global pada April lalu karena dampak perang Rusia-Ukraina. Pada saat itu, IMF membatasi perkiraan ekonomi global tumbuh sekitar 3,6 persen pada tahun ini dan tahun depan.
“Tetapi sekarang, prospek menjadi lebih gelap secara signifikan. Dunia akan tertatih-tatih di tepi resesi,” ujar Direktur Penelitian IMF Pierre-Olivier Gourinchas.
Aktivitas tiga ekonomi teratas dunia, lanjut dia, akan terhenti. Di AS, daya beli konsumen akan jatuh mendapati kenaikan harga-harga barang dan berujung pada belanja konsumen yang lebih rendah.
Sementara di China, penguncian wilayah akibat covid-19 akan terus menghambat ekonomi Negeri Tirai Bambu itu. IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan PDB China tahun ini, yakni dari 4,4 persen menjadi hanya 3,3 persen.
“Proyeksi ini jauh di bawah target resmi Pemerintah China sekitar 5,5 persen dan akan menjadi angka terburuk dalam lebih dari empat dekade, tanpa pandemi,” terang Gourinchas.
Kemudian di Eropa, lonjakan harga energi akan membuat kepercayaan konsumen melemah dan membuat sektor manufakturnya berjalan lebih lambat, akibat gangguan rantai pasokan.
