Oleh Ahmad Sahide*
OPINI, EDUNEWS.ID – Bengkulu masuk dalam catatan sejarah penting kemerdekaan Indonesia. Hal itu karena Bengkulu menjadi salah satu tempat pengasingan Soekarno (Bung Karno) oleh Belanda, dari 1938-1942.
Ketika diasingkan Belanda inilah, Soekarno berbaur dengan masyarakat Bengkulu dan aktif dalam kegiatan-kegiatan persyarikatan Muhammadiyah di Bengkulu. Dari sini pulalah kisah awal pertemuan antara Bung Karno dengan Fatmawati.
Saya merasa bersyukur karena mempunyai kesempatan untuk menginjakkan kaki di rumah pengasingan Bung Karno yang terletak di Kelurahan Anggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu. Saya mengunjungi rumah bersejarah ini pada Kamis sore, 11 September 2024.
Kunjungan ini sebenarnya disela kegiatan pendampingan dari Majelis Diktil itbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Bengkulu di bawah komando Prof. Dr. Achmad Nurmandi (Wakil Ketua Mejelis Diktilitbang PP Muhammadiyah).
Jika selama ini saya hanya membaca lewat buku-buku sejarah bahwa Bung Karno pernah diasingkan di Bengkulu, maka pada September tahun ini (2024) saya mendapatkan kesempatan yang sangat luar biasa karena bisa menginjakkan kaki di rumah yang pernah ditinggali oleh bapak proklamator kemerdekaan Republik Indonesia.
Kursi tamu yang tentu biasa ditempati duduk oleh Bung Karno membaca buku dan memikirkan masa depan negaranya juga masih terjaga dengan utuh, meski tidak bisa diduduki oleh pengunjung. Kamar dan tempat tidur Bung Karno bersama Inggit Garnasih juga masih terawat dengan baik, begitu juga dengan sepeda yang dipakai oleh Bung Karno beraktivitas di sana setiap harinya.
Kunjungan singkat ke rumah pembuangan bapak proklamator ini memperkuat keyakinan saya bahwa Bung Karno adalah pemimpin besar yang ditempa dengan perjuangan dan penderitaan.
Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama karena memang layak dengan rekam jejaknya yang dibuang ke sana ke mari oleh penjajah karena komitmen dan dedikasinya untuk kemerdekaan negaranya. Untuk kebebasan rakyatnya.
Bung Karno menjadi pemimpin di republik ini bukan karena akal culas dan busuknya, akan tetapi itu sebagai hadiah atas perjuangannya yang rela dibuang oleh penjajah dari satu tempat ke tempat yang lain. Salah satunya di Bengkulu.
*Bung Karno dan Buku
Satu hal yang cukup menarik perhatian saya dari kunjungan ke rumah pengasingan Bung Karno ini adalah beberapa buku koleksi dan bacaan Bung Karno selama diasingkan oleh Belanda masih tersimpan dengan baik dalam lemari kaca. Bahkan buku bacaan Bung Karno tersebut dalam bahasa asing. Artinya bahwa Bung Karno menjadi pemimpin revolusi, tokoh besar yang pernah dimiliki oleh Indonesia karena memang dia pemimpin besar. Bukan besar karena pencitraan.
Pembuangan oleh Belanda dimanfaatkan oleh Bung Karno dengan membaca banyak buku. Itulah yang membuatnya menjadi pemimpin besar dengan karakter dan gagasannya.
Mungkin inilah alasannya sehingga pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia, para founding father tidak berebut, bahkan saling ‘membunuh’, untuk menjadi presiden di republik ini karena mereka sadar bahwa hanya Bung Karno yang layak berada pada posisi itu. Artinya bahwa pemimpin itu tidak boleh diberikan kepada sembarangan orang.
Menjadi presiden Indonesia tidak boleh orang sembarangan, tapi hanya dengan figur dengan kriteria tertentu. Bung Karno adalah figur yang layak karena ditempa dengan pengalaman politik, pembuangan, dan juga dengan bacaan yang luas. Bukan dengan kemewahan dan segala perlakuan khusus.
Oleh karena itu, sembari mengamati ruangan dan halaman sekitar rumah yang pernah ditinggali Bung Karno, saya sambil berpikir bahwa seorang pemimpin haruslah membaca. Itu cara mempersiapkan diri dengan baik untuk menjadi pemimpin besar dengan gagasan besar. Politik pun akan mempunyai marwah di hadapan publik.
Saya memercayai bahwa banyak politisi yang pernah berkunjung ke rumah bersejarah ini.
Walakin, dengan mengamati hiruk-pikuk politik saat ini, nampaknya spirit Bung Karno sudah jauh ditinggalkan. Banyak politisi di republik ini tidak suka membaca. Mereka bermodalkan uang dan juga pencitraan.
Bahkan ada pemimpin yang terang-terangan mengatakan bahwa dia tidak punya kebiasaan membaca dalam keluarganya. Apakah ini suatu kemajuan atau kemunduran dalam berbangsa dan bernegara? Masing-masing dari kita tentu sudah punya jawabannya, bukan?
Penulis merupakan Ketua Prodi Hubungan Internasional Program Magister Universitas Muhammadiyah Yogyakarta