JAKARTA, EDUNEWS.ID – Selain soal COVID-19, sektor pariwisata Indonesia juga harus menghadapi ancaman eksploitasi ekonomi dan seksual pada anak-anak. Dibutuhkan kerja sama pemerintah, pelaku usaha wisata, dan masyarakat dalam memeranginya.
Jaringan hotel Archipelago baru-baru ini mengumumkan komitmen mereka untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi yang kerap terjadi di hotel sebagai salah satu bagian dari sektor pariwisata. Komitmen itu dijalin bersama organisasi pencegah eksploitasi anak di sektor pariwisata, The Code.
Dalam kesempatan itu, perwakilan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KPPA), Nahar, sempat menyinggung mengenai kondisi eksploitasi anak yang rupanya semakin memprihatinkan di masa pandemi ini. Kendati jumlah wisatawan yang berlibur di Indonesia menurun, tak demikian dengan eksploitasi anak.
“Catatan kami dari 2019, angka khusus untuk eksploitasi ekonomi dan seksual dan perdagangan anak meskipun pandemi angkanya semakin naik,” kata Nahar.
Hal senada juga disampaikan perwakilan dari ECPAT Indonesia, sebuah organisasi jaringan nasional untuk menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Manager Program ECPAT Indonesia, Andy Ardian, menjelaskan bahwa eksploitasi marak terjadi karena belum adanya perlindungan yang tegas pada anak-anak.
“Eksploitasi seksual anak masih kerap terjadi dan terus meningkat. Ini karena dunia wisata Indonesia belum memberikan upaya perlindungan anak secara optimal. Belum adanya mandatory report dalam upaya mitigasi terjadinya kejahatan eksploitasi seksual anak,” ungkap Andy.
Sementara itu, Plt Direktorat Pengembangan SDM Kemenparekraf, Surana, menyampaikan sebenarnya komitmen perlindungan anak dari eksploitasi di tempat wisata itu sudah ada, baik secara nasional maupun internasional.
Secara nasional, pedoman yang digunakan adalah Permenparekraf Nomor 30 tentang Pedoman Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak di Lingkungan Pariwisata. Kemudian Permenpar Nomor 14 tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan.
Adapun untuk skala internasional, terdapat Konvensi Etika Pariwisata United Nations World Tourism Organization (UNWTO).
“Sudah ada komitmen pemerintah bahwa eksploitasi seks anak atau eksploitasi anak ini harus betul-betul dihindari dari dunia pariwisata, sehingga citranya pariwisata betul-betul positif untuk pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial budaya,” jelas Surana.
Hanya saja hingga saat ini, kasus-kasus eksploitasi masih kerap ditemukan. Oleh sebab itu, selain pemerintah sebagai regulator yang bergerak, pelaku usaha seperti hotel juga harus aktif dalam melindungi anak. Surana berharap, komitmen Archipelago ini dapat dicontoh hotel-hotel lainnya.
“Mohon dari pihak Archipelago dan ECPAT memberikan contoh yang baik pada dunia perhotelan dan pariwisata. Meskipun kondisi pandemi semoga pariwisata dapat didorong dan hotel menjadi tempat yang aman buat anak-anak,” tuturnya.
Dikutip dari BBC, KPPA dan ECPAT Indonesia pada tahun 2018 pernah melakukan penelitian soal eksploitasi anak di tempat wisata. Hasilnya, terdapat 10 wilayah kunjungan wisata di Indonesia yang rentan eksploitasi anak.
Daerah tersebut adalah Karang Asem (Bali), Gunung Kidul (Yogyakarta), Garut (Jawa Barat), Toba Samosir (Sumatra Utara), Bukit Tinggi (Sumatra Barat), Lombok (Nusa Tenggara Barat), Kefamenanu (Nusa Tenggara Timur), Jakarta Barat serta Pulau Seribu (DKI Jakarta).
Sementara itu dari segi jumlah korban eksploitasi anak, UNICEF pada tahun 2007 menyebut sekitar 100.000 anak dan perempuan Indonesia diperdagangkan untuk tujuan seksual setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 30 persen merupakan perempuan di bawah 18 tahun.
dtk